Minggu, 15 November 2015

Amfoter



Timah, bahasa inggrisnya tin, dalam tabel periodik disimbolkan sebagai Sn, dari bahasa latin stannum. Timah dapat membentuk senyawa oksida yang sifatnya amfoter. Senyawa amfoter merupakan senyawa yang dapat bertindak sebagai asam atau sebagai basa, menyesuaikan dengan lingkungannya.

Mungkin kau menebak tulisan itu merupakan kutipan dari buku teks kimia. Atau mungkin tulisan pada jurnal ilmiah? Tidak, itu salah. Itu dari buku harianku, tapi bukan karena aku begitu rajin hingga menuliskannya di buku harian.

Ini tentang seorang gadis.

Pertama kali melihatnya adalah saat aku menuju sebuah masjid. Tak biasanya aku ke masjid itu saat maghrib. Kegelapan menyelimuti langit, tak bersahabat. Aku berlari kecil sambil mengangkat plastik hitam untuk melindungi kepalaku dari serdadu jarum air. Mataku secara autofocus menyapu dirinya sedang duduk manis ditemani teh hangat di sebuah kantin. Sekedar melihatnya.

Sekembalinya aku dari masjid, murka langit telah berkurang. Seekor kucing berdiri di bawah meja, menggigil. Gadis itu mendatanginya dengan sebuah kardus kecil. Tanpa rasa takut atau jijik seperti yang dialami kebanyakan gadis, gadis itu mengangkat kucing kecil itu dan memasukkannya ke dalam kardus, seraya melindungi dari tetes yang tersisa. Dia terlalu baik. Aku saja pasti merasa jijik kalau harus bersentuhan dengan binatang yang sedang basah. Apakah tindakannya yang menarik perhatian langit hingga lupa akan murkanya? Dia pergi dengan meninggalkan rasa penasaran yang lebih dalam diriku. Entah kenapa, rasa penasaran dalam diriku begitu mengganjal dan memaksa untuk dipuaskan.

Setiap hari, selalu ada dia di kantin ini. Itu saja yang menarik perhatianku. Terkadang, ketika aku memperhatikannya, dia menoleh ke arahku, atau aku merasa dia menoleh ke arahku. Mungkin dia menyadari seseorang sedang memperhatikannya. Aku hanya berharap dia tak menganggapku sebagai penjahat yang mengintai mangsa.

Ketika seorang temannya dari jauh memanggilnya, baru aku tahu namanya Tin. Untuk waktu-waktu berikutnya, nama itu akan terus membekas dalam pikiranku. Padahal, aku tipe yang sulit mengingat nama. Entah bagaimana reaksi di otakku sehingga ini terjadi.

Tak hanya di kantin, aku juga melihatnya ketika aku berjalan di pasar. Di hari minggu. Dengan pakaian sesederhana para pedagang, dia berkendara dengan sepeda.

Dengan sigap, aku mempercepat langkah. Aku tak boleh kehilangan momen berharga itu. Ke mana ia pergi dan dari mana ia datang harus aku ketahui saat itu. Dia berbelok di pertigaan. Jarak di antara kami masih jauh. Aku khawatir akan kehilangan jejaknya. Kemungkinan itu terjadi sangat tinggi hingga membuatku putus asa. Tanpa semangat, kepalaku muncul dari balik sebuah toko menatap jalan kecil di pertigaan itu. Itu sepedanya. Biru polos dengan kilauan. Tapi, Tin sendiri tak ada di sana.

Aku memasuki jalan itu, mencoba bersikap normal. Pandanganku secara sembunyi-sembunyi mencoba mencari di setiap sudut, di setiap detail. Pertempuran antara penjual dan pembeli bahkan tak mengusik konsentrasiku. Padahal aku tak pernah bisa konsentrasi dengan suasana seperti itu. Kekuatan magis apa yang dimiliki gadis itu hingga dapat membuat semua ini terjadi?

Masuk jauh ke sana tak membuatku menemukannya. Aku kembali. Tin tiba-tiba di sampingku, berjalan mendahului. Sontak, aku terkejut. Langkahku melambat. Dia menginjak pedal segera setelah memasukkan plastik penuh itu ke keranjang depan. Entah apa isinya.

Hari-hari berikutnya, dia masih sering ke kantin itu. Aku mulai hafal siapa saja temannya, laki-laki maupun perempuan. Aku berkenalan dengan mereka satu per satu, tentu saja di luar jangkauan Tin. Sesekali aku bercakap-cakap dengan mereka. Secara halus dan teliti, aku memancing percakapan itu menuju pembicaraan tentang Tin.

”Apa?! Anak bupati?” Aku terkejut mengetahui siapa dia dari salah seorang temannya. Hal seperti itu tak pernah terlintas di pikiranku. Tadinya kukira Tin hanyalah gadis biasa anak salah seorang pedagang di pasar. Penampilannya benar-benar menipuku. Kurasa aku mulai mengerti untuk tidak menilai seseorang dari penampilannya.

Semakin hari, semakin rasa penasaranku memuncak. Aku pernah melihat Tin di suatu malam, di alun-alun. Dia membawa plastik hitam yang isinya penuh dalam cangkingannya. Apa sebenarnya isinya? Kenapa dia selalu membawa plastik hitam yang besar seperti itu? Aku berjalan mengikuti, mengendap-endap. Sesekali aku membayangkannya seperti Cinderella yang cantik tapi sederhana. Bolehkah aku menjadi pangeran? Huh, bayanganku terlalu menjadi-jadi. Apa dia benar-benar memiliki kekuatan magis hingga dapat menciptakan ilusi-ilusi seperti itu?

Suatu hari aku menemukan kebenaran lain dari diri Tin, si gadis berkekuatan magis. Sore hari, aku melewati sebuah SMA. Keberadaan Tin secara tak sengaja tersapu kedua mataku, berjalan bersama seorang pria paruh baya memasuki SMA itu. Sudah jelas dia bukan ayahnya yang pasti sangat sibuk di saat-saat seperti ini. Aku hanya terdiam, mengamati dari jauh untuk beberapa saat.

Saat aku hendak mengikutinya masuk jauh ke sana, dia muncul terlebih dahulu, bersama pria itu, diikuti segerombolan anak. Setahuku, itu seragam karate. Tin dan pria paruh baya itu satu-satunya yang telah dilengkapi sabuk hitam. Aku masih mengamati dari kejauhan. Tak dapat kubayangkan. Gadis selembut dirinya dapat mengubah suaranya menjadi lantang memimpin anak-anak itu berlatih karate. Gerakannya sangat lincah, bertenaga. Aku pasti kalah jika beradu panco dengannya.

Dia benar-benar berbeda ketika itu. Mulai saat itulah, aku mendapat ide untuk menulis tulisan itu di buku harianku. Namanya Tin, sifatnya juga seperti tin, yang dapat memiliki sifat berbeda, sesuai dengan lingkungannya. Jika dia timah, dapatkah aku menjadi oksigennya untuk membentuk timah oksida? Aku mengacau lagi.

Menurut legenda, Tin telah menapakkan kakinya dari gunung ke gunung di rangkaian pegunungan sirkum mediteranian yang ada di Jawa. Tak hanya gunung yang tak aktif, bahkan gunung-gunung aktif pun, yang termasuk Krakatau, ia daki. Menyeramkan. Jelas aku yang baru mendaki dua gunung seumur hidupku kalah telak. Mungkin suatu saat nanti aku dapat mendaki gunung bersamanya.

Sapaan demi sapaan, aku justru semakin akrab dengan teman-teman Tin. Aku dapat menyebutkan mereka satu per satu, tapi kau pasti akan bosan. Kami memiliki rencana di akhir pekan ini.

”Apa dia ikut?” tanyaku.

”Entahlah.” jawab Arul, orang yang memiliki ide ini.

Tentu itu tak sesuai dengan harapanku. Tapi, entah kenapa aku merasa dia menampakkan hal lain di cara bicaranya. Dia orang yang kreatif.

Setidaknya, aku memiliki alasan untuk bicara dengan Tin. Aku bersandar di sebuah pohon. Beberapa meter di depan sana adalah kantin itu. Dengan buku yang aku genggam, bukan berarti aku sedang membaca. Konsentrasiku tetap ke depan sana. Menunggu. Tetes pertama telah menyambutku. Dia belum juga hadir. Tetes demi tetes, hingga akhirnya suasana berakhir seperti saat itu. Kali ini, tak ada yang dapat menenangkan langit. Cambuk-cambuk kilat tak ada yang meredam. Aku terkepung. Inilah satu-satunya tempat dimana aku bisa bersembunyi dari pasukan hujan.

Azan maghrib dikumandangkan. Dia belum hadir. Mungkin memang tidak akan hadir. Tasku satu-satunya yang dapat kujadikan pelindung untuk berlari di tengah-tengah penyerbuan.

Maghrib berakhir, kemudian isya’, masih saja hujan. Aku terkurung. Langit, kenapa kau lakukan ini padaku? Mungkin langit juga sedang mencarinya. Mungkin langit masih menunggunya dan ingin aku menemaninya menunggu. Baiklah. Satu-satunya pilihan adalah tidur di masjid.

Aku bangun. Azan subuh belum dikumandangkan. Ketika melihat jam, memang masih lama sampai subuh dikumandangkan. Jarum pendek hampir menunjuk angka empat.

Aku keluar menyegarkan badan, mencelupkan badan dalam genangan udara. Molekul-molekul udara seolah keluar masuk pori-poriku, menggesek setiap sel dalam tubuhku. Batu-batu lingkaran sepanjang jalan aku injak satu per satu. Kesepian ini menghiburku. Keluar dari kompleks masjid, menuju jalan raya, dan…

Sepeda biru itu melesat cepat. Aku terkejut mengetahui itu dia. Ketika aku berjalan cepat mengejarnya, tiba-tiba dia berhenti, turun.

”Ada apa, Mbak?” tanyaku.

Dia masih menekan-nekan ban, sejenak menoleh kepadaku. ”Aduh, sepertinya bannya bocor.”

”Aku kenal orang yang punya bengkel di sana, tapi jam segini masih tutup. Biar aku sms.” kataku sembari mengeluarkan ponsel.

”Kayanya aku pernah melihatmu. Namamu Ali?”

Aku terkejut. Ternyata dia menghafalku, bahkan mengetahui namaku. ”Kamu kenal Arul?”

”Oh, iya. Kamu temannya?”

”Iya. Namamu Tin, kan? Aku pernah lihat kamu dengannya. Sebenarnya, aku kenal banyak temanmu. Kami punya rencana mendaki Merapi di akhir pekan.”

”Ha? Mereka mengajakku mendaki Sundoro di akhir pekan.”

Kami hanya saling tatap. Ada yang tidak beres di sini. Terlepas dari itu, aku lega dapat bicara dengannya.

Selagi temanku menambal ban sepeda yang bocor, Tin berjalan membawa salah satu plastik yang tadi menggantung di sepedanya. Masih tersisa satu plastik penuh yang ditinggalkan di kursi, terasa menarikku. Balok berlapis kertas kado. Apa isinya, aku semakin penasaran.

”Kemana kamu akan pergi?” tanyaku selepas ban sepedanya sembuh.

”Hmmm… aku mau jalan-jalan. Sebentar, bukan jalan-jalan. Sepedaan.”

”Kemana?”

”Tempat favoritku. Mau ikut?”

”Ril.” Aku memanggil temanku, si pemilik bengkel. ”Boleh aku meminjam sepedamu?”

Kami berangkat setelah solat subuh. Tin mengayun sepedanya di depanku. Sudut jalan semakin besar. Tenaga yang harus kukeluarkan semakin besar seiring meningkatnya energi potensial. Tapi, Tin kelihatan baik-baik saja. Dia tetap cepat. Tak hanya menanjak, jalan semakin sempit. Ada satu titik peralihan dari jalan aspal menjadi jalan tanah. Lalu, naik turun naik turun. Bagaimanapun, aku menikmatinya. Banyaknya pepohonan di sini begitu mendukung suasana. Beberapa tetes embun menyiramku. Dedaunan yang gugur membuatku merasa ada bumbu keromantisan.

Aku lega. Akhirnya kami berhenti, memarkirkan sepeda. Dia masih di depan, menaiki setiap anak tangga. Ia juga membawa balok itu. Kenapa? Aku penasaran. Melelahkan, tapi akhirnya kami berada di puncak. Dingin, tapi segar. Langit ungu gelap. Bintang masih terlihat bertaburan. Begitu indah.

Beberapa menit setelah itu, ada satu titik berkilau. Titik itu muncul dari ujung timur sana. Begitu indah. Kehangatannya masih belum terasa di raga, namun begitu terasa di hati, menciptakan sebuah keinginan. Aku ingin merenggut hatinya.

Aku mendekatinya ketika ia mengambil foto mentari. Tiba-tiba, ia tersandung, membuat balok yang ia pegang jatuh berguling-guling, menuruni tangga, hampir mencapai sepeda kami.

”Biar kuambilkan.” Spontan, aku menuruni tangga. Memang melelahkan, tapi jantungku yang berdegup kencang membuatku tak merasakannya. Aku menolehkan pandang ke sana kemari sementara waktu karena balok itu bersembunyi di antara rerumputan yang cukup tinggi. Itu dia. Aku menemukannya.

Lapisan kado telah rusak, terbuka. Itu balok kayu. Karena penasaran, aku membukanya tanpa mengingat privasi. Jantungku seolah berhenti. Itu setangkai bunga. Terlebih lagi, di dasar tangkai, ada selembar foto lelaki. Arul.

Sumber gambar: Karolina Grabowska, pexels.com

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com