Senin, 30 November 2015

Berlari Kemudian Berenang

Ketika kau berlayar di waduk ini sore hari, pandanglah segala yang mengelilingimu. Kau akan mendapati dirimu sedang dikepung pepohonan. Jangan menatapnya terlalu dalam, karena kau akan mendapati mereka tiba-tiba bergerak. Bahwa alam memiliki lantunan nada dengan jutaan warna, bahwa gunung melahap surya selayaknya kantung semar menjebak serangga tak hanya kau nikmati sebagai deretan kata ini. Kau mungkin berpikir kau juga akan mendapatkannya di lain tempat. Bisa jadi. Tapi, kau tak akan mendapati seorang wanita yang berlari mengitarimu di tempat lain.
Jangan berharap kau akan mendapat jawaban dari pertanyaan darimana datangnya, karena ia selalu muncul tanpa salam peringatan. Terima saja, karena bahkan kuantum mengizinkan kemungkinan kau tiba-tiba berpindah dari bumi ke mars.
Siluet kelapa melambaikan tangan kepadanya, mendapatkan balasan serupa bersama senyuman persahabatan. Barangkali ia tak mengerti bahwa pohon itu takkan memahaminya.
Sedari datangnya, telapak kakinya telah polos. Dalam sudut pandangnya, butiran dalam pijakannya serupa dengan dirinya. Jutaan tahun bergulat dengan unsur alam lain hingga padat susunan kristalnya diremas hingga serapuh perasaannya. Entah bagaimana dalam sudut pandang si hasil erosi.
Diam saja dan duduk di sana, tutup mulutmu! Kamu takkan pernah mengerti. Sebenarnya kamu ini apa? Ia tiba-tiba berkata demikian dalam hatinya. Tak ada yang bicara dari tadi. Entah kepada siapa ia bicara, tak ada pendengar nyata. Tiba-tiba ia melesat. Tiada aba-aba bersedia, siap, mulai sebagaimana hari-hari para pelari. Bukan jogging yang ia lakukan. Berlari, terus berlari, begitulah dia. Ia takkan berhenti kalau itu baru separuh, tiga perempat, sembilan persepuluh, atau sembilan-puluh-sembilan perseratus keliling waduk itu.
Sulit dibayangkan Dewi Logika mampu melaluinya. Itu adalah sebutan yang pantas baginya. Alam mengilhaminya dengan deretan angka, hingga mereka selalu berjajar rapi dalam perenungannya. Orang biasanya ditaklukkann oleh pikiran, tapi ia mematahkannya.
Indah bukan, bagaimana caramu berekspresi? Melontarkan seluruh tekanan dalam hatimu seperti ketapel. Kau membuat dirimu menjadi seperti mereka. Menyimpan energi potensial kemudian melepaskannya menjadi bentuk lain.” Kata-kata itu tiba-tiba muncul tanpa sumber. Hanya bergema begitu saja dalam hatinya. Terdengar seperti seorang anak yang bicara, tapi tak sekalipun ia mengerti itu apa. Tapi ia bukanlah anak kecil. Kau akan paham jika kau terus mendengar suara itu seperti dirinya.
Sang dewi ini memiliki nama lain Ima. Kata sederhana yang sering bergema di telinga mereka yang berikatan dengannya. Adakah yang seperti itu baginya? Mungkin setiap langkahnya adalah jelmaan angka, namun dalam hatinya, emosi yang berlapis lapis mengitari dengan jutaan putaran di tiap detiknya, seperti elektron.
Pernahkah kau mendengar kisah mengenai elektron dari Bohr? Taksiran awan negatif pengitar inti. Apa yang terjadi jika gelombang berfrekuensi tertentu mengenainya? Maka ia akan menjauh dari inti, berpindah ke tingkat energi di atasnya. Bagaimana jika ia berpindah lagi ke tingkat di bawahnya? Maka ia akan memancarkan gelombang.
Begitulah kiranya hati manusia, begitu pula hati Ima. Segala yang terjadi di dalamnya berubah bentuk menjadi aksi nyata sel-sel penyusun tubuhnya. Gerak, keringat, air muka. Energi, itulah intinya. Seberapa besar yang ia buang ke lingkungan adalah seberapa besar yang berkecamuk dalam dirinya. Aturan Tuhan ini orang sebut sebagai Hukum Termodinamika I.
Mengapa entropi dalam hatimu terlampau besar? Jika kau hanya menyimpan semua itu sementara ruang dalam hatimu tetap, tekanan akan meningkat dan akan merusak ikatan antarsel hatimu dan melukaimu. Apa kau berusaha memahami perasaan alam sebagaimana kau memahami perasaanmu sendiri?” Suara itu bergema lagi. Suara anak kecil, perempuan.
Dalam kehidupan sehari-harinya, orang mendapatinya sebagai seorang wanita tenang. Senyum hangat tidaklah sepi jika bersamanya. Ia juga dapat tertawa jika ada canda gurau yang merangsang hatinya. Percayalah, kau akan betah jika bercakap-cakap dengannya. Tutur bukan sekadar kata jika itu keluar dari mulutnya. Perasaan sering kali berosilasi dan merambat bersama suaranya.
Hanya itu yang orang tahu tentangnya. Mereka takkan pernah menggapai perasaan Ima yang sebenarnya, karena ia tak sekalipun menampakkannya. Lubuk hatinya mengerti secara spontan kapan ia harus bersikap normal dan kapan harus melontarkan energi potensial yang terkandung di dalamnya. Hukum aksi-reaksi seolah mendapat pengecualian karena mereka takkan dapat membalas sebanding dengan apa yang Ima berikan.
Mereka memperlihatkan segalanya padamu. Kau memahami mereka dan kau merasa mereka akan memahamimu. Alam mengandung keindahan dan kau tahu itu. Alam adalah jelmaan matematika dan kau juga tahu itu. Apa lagi yang kau coba pahami darinya?” Suara itu lagi-lagi terngiang dalam pikirannya.
Tes! Kau mungkin akan mendengar suara itu kalau saja angin tak mendesir, kalau saja burung tak bernyanyi, kalau saja daun-daun kelapa tak saling bergesekan satu sama lain. Berkas cahaya jingga mengenainya sebelum hancur karena batu yang ditimpanya, berkilau. Matanya terpejam, diremas otot-otot dahinya. Titik lain mengembun darinya, kembali memancarkan kilauan bintang.
Tiba-tiba, buk! Ia terjatuh. Beruntung daerah berbatu besar lagi tajam telah tertinggal jauh di belakang. Beberapa butir pasir memasuki matanya, membuatnya harus menggoresnya hingga memerah.
Sebuah suara meledak mengalahkan lantunan nada alam. Ima menjatuhkan sauh menahan perasaannya, kemudian bergegas menuju sumber suara. Tak heran jika tangis itu seolah uranium yang membelah. Ia hanyalah seorang anak-anak, satu fase metamorfosis manusia yang rentan akan luka.
”Maaf, Dik. Adik terluka?” Ia memegang erat tubuh anak perempuan itu, menegakkannya. Ia tak lebih tinggi dari perutnya. Tangan halusnya dengan lembut mengusap butiran tanah yang terikat adhesi dengan kulit dan pakaian anak itu. Tangis belum mereda.
”Sini, Kakak gendong.” Ia kembali memegang erat tubuh anak itu, mengangkatnya lebih tinggi, kemudian memeluknya erat. ”Ibu dimana, Dik? Kenapa Adik sendiri?” Anak itu tak memberi jawaban selain tangis yang tak kunjung reda. ”Sayang, ayo, kita jalan-jalan.” Jemari tangan kirinya mengusap air mata dari wajah anak itu sementara tangan kanannya menopang berat yang cukup menguras tenaga.
Anak itu masih mengambil napas dengan tersendat, tapi binar di matanya mulai terlihat. Cahaya yang sedari tadi mengantri di depan garis tipis tambang embun kini memasukinya berbondong-bondong. Sosok dengan wajah berseri yang membelakangi mentari muncul sebagai bayangan indah di matanya. Tanpa ia sadari, gerak naik turun seperti di kapal terjadi padanya mengiringi setiap langkah yang Ima ambil.
Ima memberi tutur-tutur hiburan bagi anak itu selagi ia menyusuri seluruh sisi waduk. Harapan akan bertemu seorang yang peduli membara di hatinya. Ya, ia telah mengisap cukup banyak oksigen untuk mendukung reaksi pembakaran itu.
Setiap sudut ia datangi. Kepalanya muncul di setiap sisi batu besar seolah bermain petak umpet.
Jingga di barat telah sepenuhnya padam. Gelap di timur menjalar menyelimutinya. Gradasi warna di langit telah diaduk-aduk dengan kuas kuasa alam hingga menjadi hitam pekat. Sabit emas telah menggantung berseri ditemani kawan-kawan kecilnya.
”Orang tua Adik dimana, ya? Dari tadi nggak ketemu nih.” Ima mulai risau.
”Orang tua? Apa itu orang tua?”
Ima hanya menatapnya tak mengerti. Anak seusianya seharusnya mengerti apa arti ibu, ayah, atau keluarga. Atau mungkin ia memang tak pernah mengenali mereka? Ima mengambil langkah baru sekiranya menginjakkan kaki di setiap butir tanah di sekeliling waduk takkan berhasil. ”Kita ke rumah Kakak dulu, yuk.” katanya sambil tersenyum.
Hanya bayangan yang menyambut kepulangannya. Inikah yang ia rasakan? Hanya ditemani nyala lentera setiap harinya. Api bahkan hanyalah bentuk energi, tercipta dari minyak yang menyambut kemudian berikatan dengan oksigen, bukan berikatan perasaan dengan manusia. Ima tetap tersenyum kepadanya.
”Kenapa tidak ada siapa-siapa di sini?” Anak itu mulai buka mulut.
”Yah... semuanya telah... pergi.” Ima lesu, kemudian terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali cerah. ”Kita lihat bintang aja, yuk. Hari ini begitu cerah.”
Ima menggelar tikar menyelimuti rerumputan kecil di depan rumahnya. Ia tak ingin merasakan sensasi perbedaan suhu tubuhnya dengan rerumputan yang dingin. Mereka terbaring bersama di sana, menikmati pesona antariksa yang baginya tak hanya memancarkan cahaya, namun juga pesona angka. ”Indah, ya? Seperti gula.”
”Hm? Gula?” kata anak itu. ”Maksudmu sukrosa? Bagaimana mungkin hidrogen bertekanan tinggi disamakan dengan sukrosa yang wujudnya kristal?” kata anak kecil itu.
Ima terperanjat. Seorang anak yang tak memahami makna keluarga bahkan memahami konsepsi alam yang sedemikian rupa. Siapa sebenarnya anak itu?
”He...he... ya, sukrosa. Glukosa dengan fruktosa. Tentu saja. Aku bingung bagaimana aku bertemu denganmu. Seperti ini telah direncanakan.”
”Begitu banyak konsep alam yang terwujud dalam bilangan, bukan? Ruang bertemu waktu, kemudian saling rajut. Itukah inti dari segalanya? Inti dari rencana?” kata anak itu.
”Ya. Susunan yang begitu teratur.”
”Apakah Kakak memiliki teman? Di kehidupan nyata, maksudku.”
Ima termangu. Bola matanya semakin redup, lebih redup dari magnitudo bintang yang berada pada jutaan paralaks ditambah efek resapan dari berbagai debu yang bertebaran di antaranya. ”Ya. Mereka teman-teman yang baik dan aku menyayangi mereka. Apakah kamu pernah merasakan kehilangan?”
”Kehilangan? Apakah seperti ketika ketika atom kehilangan elektronnya dan menjadi ion positif?”
”Namun tidak begitu. Kehilangan tidak memberikan sesuatu yang positif bagiku.” Matanya kembali berembun. Ikatan yang ia bentuk bersama sesama manusia lebih dari bagaimana ikatan antarmanusia pada umumnya. Tak sekadar singgung antarorbital atom, melainkan saling tarik menarik dengan kuat, tumpang tindih seolah ikatan sigma, membentuk sesuatu yang baru. Sesuatu yang apabila kemudian itu terlepas darinya, ruang dalam hatinya seolah orbital yang kosong.
”Apakah ikatan begitu indah?”
Ima tersenyum, masih menambang air mata. Pandangannya jauh ke atas, menambus bintang-bintang menuju tepi semesta, menerobosnya. ”Ya, begitu indah. Mereka bisa mengubahmu menjadi sesuatu yang baru. Kamu bisa membayangkannya seperti hibridisasi orbital.”
”Hmmm... sepertinya aku juga harus memiliki ikatan. Tapi dengan siapa ya? Apa Kakak mau berikatan denganku?” Ia mendongak menatap wajah Ima.
Ima balas menatapnya dan tampak kebeningan tercipta di antaranya. ”Ya, tentu saja. Sepertinya kita telah terikat.” Suaranya bersembunyi di balik angin. Tangannya membelai rambut licin anak itu, kemudian mendekapnya. ”Kamu anak yang lucu. Kakak belum tanya, siapa namamu?”
”Aku tidak tahu.”
”Tapi kamu harus memiliki nama sebagai penanda. Itu akan mempermudahmu membentuk ikatan.”
”Ya, aku paham. Seperti atom dengan satu proton bernama hidrogen, atom dengan sembilan proton bernama fluorin. Mereka berikatan dengan kuat, ya? Kalau begitu, aku ingin memiliki nama...” Anak itu menimbang-nimbang. ”Ima!” katanya.
”Tapi, itu namaku.” Kata Ima.
”Tapi, aku ingin memiliki nama itu.” Anak itu merengek.
”Baiklah. Kalau begitu, kita berdua adalah Ima, setuju?”
”Setuju.” Ia tersenyum lebar.
Langit tak pernah lelap. Tentu saja, karena ia bukan keberadaan yang tersusun dari karbon seperti mereka yang diselimutinya. Kebetulan hari ini 21 Maret, titik Aries. Bukan berarti bintang ini akan terlihat. Justru ketika ini Aries mustahil terlihat.
Jadi, inikah yang kau coba pahami?” Suara itu kembali bergema di pikiran Ima.
Diam! Pergilah dari mimpiku! Jangan menggaggu kebahagiaan yang sedang kualami!
Ternyata kamu tak mengerti, ya. Apakah kamu mencoba memahami tentang luka?
Luka di hati. Itu tak seperti luka di tubuh. Bagaimanapun aku memahaminya, luka seperti itu tak pernah bisa terwujud secara logika. Darimana sebenarnya datangnya luka? Itu seperti bilangan imajiner, tapi bukan. Luka itu nyata, ada.
Dari sinilah keberadaanku, keberadaan kita, bukan begitu. Dari dunia dimana akar min satu datang.
Aku terwujud oleh realita, dan kau bukan.
Aku hanya berusaha menemanimu. Apa kamu tidak mengerti? Keberadaanku ada karena keberadaanmu. Dan aku terwujud seperti luka yang terwujud dalam hatimu.
Segalanya kemudian memudar, dan...
Kedua matanya terbuka, segera. Emas berkilau di timur sana dengan cahayanya sendiri, seolah menyapa selamat pagi. Tiba-tiba, semak-semak bergesekan. Ia menatap ke kirinya dan Ima kecil sudah tak ada di tempatnya. Terlonjak, jiwa dan raganya terbangun sepenuhnya, kemudian melangkah cepat ke belantara.
Ini adalah jalan yang biasa dilaluinya. Jalan yang selalu menuntunnya menuju perwujudan ekspresinya. Gesek-gesek dedaunan semakin menggeser posisinya, menuju pintu cahaya.
Sampailah ia di ruang terbuka. Tempat di mana air yang hijau karena lumut menggenang. Tempat daun kuning berlayar karena tegangan permukaan. Tak hanya daun ternyata, namun sampan kecil juga mengapung bersamanya. Sampan dimana seorang anak berpakaian putih berdiri di atasnya. ”Ima!” Seru Ima, berharap Ima kecil akan berpaling dari posisinya. Tiba-tiba, sampan itu hancur begitu saja hingga Ima kecil masuk sepenuhnya dalam air. Jantung Ima berdegup semakin kencang, mengalirkan adrenalin yang konsentrasinya meningkat drastis.
Ia segera mengambil langkah, berlari seperti biasanya. Energi potensial yang terkandung di dalam dikeluarkan sepenuhnya. Ketika ia berada di tepian yang cukup dekat dengan tempat Ima kecil tenggelam, ia masuk dalam air, berenang ke arahnya. Namun, pandangannya semakin buram. Gerakannya semakin lambat. Tenaganya dikalahkan oleh air, kemudian raganya dilahap. Dengan keremangan cahaya di dalam sana, ia masih bisa menatap Ima kecil yang tak jauh darinya. Ia mendapati Ima kecil yang tenggelam tak berdaya, dengan kelopak mata mengatup, namun bibirnya tersenyum.
***
Orang-orang berkerumun di tepian waduk. Beberapa kemudian datang mengangkat tubuh yang telah dilahap air. Kuyup. ”Waduk ini telah tercemar. Kandungan ion mangannya sangat tinggi.” kata salah satu orang itu.
”Apakah ada orang lain yang tenggelam?”
”Tidak. Dia sendiri.”
***
Di tempat yang cahaya tak mencapainya, suara Ima kecil terdengar. ”Aku adalah Ima. Dan aku datang dari dunia di mana akar min satu datang.


Arsyad M.D.

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com