Senin, 16 November 2015

Mencabut Gigi Naga

Naga yang seperti ular raksasa terbang bahkan tanpa sayap tepat di atas Desa Domo. Ia menghirup napas, kemudian menghembuskan dengan mulutnya. Yang muncul adalah api. Panasnya menghanguskan apapun yang dikenainya: pepohonan, binatang, rumah penduduk, juga penduduknya. Mereka berhamburan, yang mampu mencoba bertahan dengan melempar tombak juga meluncurkan anak panah. Namun, itu semua seolah tak ada artinya. Satu-satunya kesempatan adalah menggunakan pedang pusaka yang telah mereka simpan sekian lama. Salah seorang penduduk melemparnya, kemudian memasuki mulut naga. Naga yang tadinya menggeram mengerikan kini memberi jeritan kesakitan, memekakkan telinga. Ia terbang berputar-putar tanpa aturan sebelum akhirnya menjauhi desa. Di tengah hutan, ia roboh. Naga yang mulutnya menganga itu menjadi batu, dan terciptalah Gua Naga.
Ia melompati batu besar itu dalam satu lompatan. Tenaganya kini berkali-kali lipat daripada saat ia kemari sebelumnya. Matanya menatap tajam hingga dapat menusuk siapapun yang ia tatap. Jejakan kakinya menghancurkan tumpukan daun kering yang ia lalui. Ia memukul setiap ranting rendah yang menjadi penghalang baginya hingga banyak ranting jatuh di sepanjang jalannya. Tampak di depan sana Gua Naga.
Tempat itu dulu selalu ramai. Setiap hari, selalu ada yang datang. Bahkan, orang dari desa seberang pun dipersilahkan. Mereka bersorak girang memberi semangat kepada orang yang berusaha mencabut pedang itu dari sana. Tawa selalu mengiringi gua itu. Ketika seorang di antara mereka menggeser sedikit saja pedang itu, yang lainnya akan terkejut dan menambah teriakan penuh semangat mereka. Namun, nyatanya pedang itu masih menancap di sini. Gua Naga telah ditinggalkan oleh semua itu. Kegagalan mereka menyurutkan asa. Tak ada yang dapat mencabut pedang itu, begitulah anggapan penduduk, paradigma yang mencegah setiap jiwa yang hendak mencoba.
”Pedang itu dapat membuat apa yang kau inginginkan menjadi kenyataan.” Begitulah tutur tetua desa ketika seorang pemuda penuh semangat mendatanginya.
”Aku hanyalah pria biasa yang tak terlalu berambisi. Aku takkan mengharapkan segala yang berlebihan. Keinginanku sederhana saja.”
”Ya. Kau mengharapkan kekayaan, kau mendapatkannya. Kau mengharapkan kekuatan, kau mendapatkannya. Bahkan jika kau menginginkan cinta, kau mendapatkannya. Bagaimanapun, kau memiliki tujuan dengan mencabut pedang itu. Kau harus berhati-hati dengan keinginanmu.”
”Aku telah memastikannya. Bagaimana untuk mendapatkannya? Kenapa tak seorang pun dapat mencabut pedang itu?”
”Orang telah dibutakan oleh kedamaian. Mereka hidup seolah tanpa tujuan. Mereka tak mengenal keinginan mereka. Selain itu, pedang itu hanya dapat dicabut di saat yang tepat.”
”Dan kapankah itu?”
Sang tetua terdiam sejenak. Ia berjalan pelan ke sebatang bambu yang kedua ujungnya terikat tali ke langit-langit. Ia mengelus elang yang sedang bertengger di sana, sementara si pemuda tetap menatapnya menanti jawaban. ”Kau harus mencari jawabannya sendiri. Pergilah ke utara. Ada sebuah tempat. Tempat dimana pedang itu ditempa.”
Ketika kristal bertaburan di langit, ketika mata malam melotot tajam, ketika itu juga ia menyiapkan kudanya. Ia tak lebih kuat dari orang yang pernah mencoba mencabut pedang itu. Namun, ia tak peduli. Sama halnya ketika ia tak peduli pada paradigma masyarakat. Dengan bekal makanan seadanya, ia berangkat ke utara. Bahkan ia belum tahu pasti dimana tempatnya.
Segala bayang menumpuk di matanya. Lentera terus menggantung di tangannya. Ia sadar takkan menemukannya hanya dalam sehari. Ia lebih peduli pada kudanya hingga membiarkannya beristirahat, sementara dirinya sendiri merasa tak memerlukannya.
Di malam berikutnya, gerbang di antara tembok nan agung berdiri tepat di depannya. ”Siapa kau?” Suara itu muncul dari balik tembok.
Si pemuda mencari-cari sumber suara itu sebelum akhirnya menemukan celah penghubung luar-dalam. ”Em... aku adalah penghuni lembah yang sedang dalam perjalanan. Aku ingin mencari penginapan untuk malam ini.”
”Penghuni lembah? Oh, masuklah!” Decitan gerbang menyambung katanya.
Segala yang dilihatnya telah disusun dari batu, berbeda dengan desanya yang sepenuhnya kayu. Penerangan susunan bintang yang terperangkap dalam kaca sungguh membuat perbedaan dari apa yang dilihatnya di sepanjang jalan. Sembari menyusurinya, ia terus menanti hari esok.
”Kapankah angin berhembus tanpa sentuhan?” kata seorang wanita di depannya. Bibir tipisnya memberi senyum manis.
”Sama halnya ketika rembulan pancarkan kegelapan.”
”Kau tak perlu merasakan segala kesakitan itu, Amer. Kau hanya perlu merasakan dunia ini. Segalanya selalu memiliki arti.”
”Maka itulah jawabannya. Ketika ia datang seperti gerimis di siang gerah. Atau embun yang mengintip dari balik daun.” Ia memegang lengan wanita itu.
Bibir merah itu tersenyum semakin lebar. ”Duduk dalam penantian, melihat api menari dengan riang. Tak segalanya hanya kenangan, namun segalanya dapat terkenang. Dalam semua ini, aku akan selalu ada untukmu.”
”Amora...” Si pemuda pun terbangun, segela beranjak dari tempat tidurnya.
Sebuah pedang berayun di belakangnya. Entah bagaimana ia menyadarinya, kemuadia menunduk dan berguling. Orang misterius itu mendatanginya secepat pedangnya mengayun kembali. Ia kembali berguling menghindarinya. Orang misterius kembali mengayunkan pedang. Ia berusaha menangkisnya dengan sapu, namun sapunya langsung terbelah. Ia melempar sebelah tangkainya pada orang misterius itu, namun orang itu membelahnya. Orang itu mendekatinya lagi dan ia melompat ke belakang meja, menendang meja itu hingga segala yang di atasnya berhamburan. Orang itu berhasil melompatinya. Ia menggapai bantal dan melemparnya, mengenai pedang hingga kapasnya berhamburan. Ia pun melompat ke arah orang itu hingga keduanya melayang menabrak kaca jendela dan memecahkannya. Pedang itu terjatuh. Keduanya berguling-guling di atas lantai. Tudung yang sedari tadi menutup muka orang itu kini terbuka, namun wajahnya masih tertutup topeng. Orang itu melempar sebuah bola. Ketika Amer menangkis dengan tangannya, bola itu meledak menjadi asap pekat. Ia hanya bisa menutup mata dan hidungnya dalam kegelapan itu. Ketika asap telah memudar, orang misterius itu sudah tidak berada di tempat terakhir ia berdiri. Ia berlari ke sana kemari mencari orang itu, sambil tetap bersiaga untuk serangan berikutnya. Orang itu benar-benar telah pergi. Tentu saja pertanyaan di dalam hatinya adalah, siapa dia?
Ketika ia menatap ke atas, mata malam masih memelototinya. Cat langit hanya bertambah biru sedikit. Ia pun kembali ke kamarnya.
Tergeletak di sana sebuah pedang. Ia memegang dan memperhatikannya. Kilasan tentang apa yang pernah ia lihat muncul di benaknya. Pedang itu sangat mirip. Tapi, bagaimana bisa?
Berbekal pertanyaan, Amer mengelilingi daerah itu hanya dengan kakinya.
”Tidak mungkin!” kata seorang pria tua yang Amer temui. ”Pedang ini seharusnya menancap di batu dan tak seorang pun dapat mencabutnya.”
”Ya, aku tahu. Itulah yang ingin kutanyakan. Pedang ini tadinya menempel di Gua Naga.”
”Gua Naga? Tidak, tidak. Pedang ini menancap di Air Terjun Layang.”
”Air Terjun Layang? Apa Maksudnya?”
”Apa kau tadi bilang kau salah seorang penghuni lembah?”
”Ya.”
”Jadi begitu. Ada tiga pedang seperti ini. Pertama di Air Terjun Layang, kemudian di dasar Danau Kawah, dan di Gua Naga. Jika salah satunya ada di sini, artinya ada yang berhasil mencabutnya. Tapi siapa?”
”Ada orang aneh yang tiba-tiba datang menyerangku pagi ini. Ia memakai topeng. Sepertinya, dialah yang mencabutnya.”
”Apa!? Tidak mungkin orang itu. Dia dulu diusir dari desa. Dia sepertinya datang untuk balas dendam. Keinginan terdalamnya adalah kematian. Kau harus membawa pedang itu jauh dari sini. Aku tidak ingin berurusan dengan ini.”
Amer berkuda sambil terus memikirkan hal ini. Di tengah kegundahan itu, ia teringat akan tujuannya. Ia hanya membutuhkan cara mencabut pedang itu. Namun, kini pedang itu ada di tangannya. Haruskah ia menggunakannya? Atau haruskah ia tetap berusaha mencabut pedang di Gua Naga?
Malam hari, Amer berjalan ke selatan, hendak kembali ke desanya. Ia memutuskan untuk menggunakan pedang itu. Ia akan menyerahkannya kepada seseorang. Tiba-tiba, hentakan kaki yang bukan dari kudanya ia rasakan. Ketika menoleh ke belakang, penampakan jubah itu segera merangsang pikirannya. Ia pun mempercepat laju kudanya. Namun, kuda yang mengejarnya jauh lebih cepat. Amer pun menggunakan pedangnya untuk menyerang musuh yang tepat di sampingnya, namun ditepis. Kedua pedang bersilangan, beradu kekuatan. Pedang di tangan si penyerang patah, namun ia segera menghentakkan kakinya ke perut Amer hingga jatuh berguling-guling dan cengkeramannya lepas. Si penyerang pun turun dan segera menuju ke arah pedang pusaka. Begitu pula dengan Amer. Keduanya bersamaan menyentuh pedang itu. Dalam tarik-menarik itu, si penyerang melepaskannya namun segera menendang pedang ke atas hingga melayang, menancap di dahan pohon. Si penyerang berusaha memanjat pohon, namun Amer menggagalkannya. Keduanya beradu pukul di sana. Amer dapat dijatuhkan. Namun, ketika si penyerang mendatanginya, Amer melempar batu ke kepalanya hingga jatuh terbaring. Ketika itu juga, pedang yang tadinya menancap di dahan, lepas seketika dan menusuk si penyerang yang sedang terbaring.
Si penyerang mungkin telah tiada, namun itu tak membuat Amer semakin tenang. Kegundahannya meningkat. Selama ini ia tak pernah mengotori tangannya dengan darah. Ia hanya menatapi tangannya yang bergetar tak tentu. Dalam hatinya, ia terus berkata, ini bukan salahmu, ini bukan salahmu. Ketakutan yang melandanya benar-benar menghapus segalanya. Ia segera menaiki kudanya dan berlari menjauh.
Desanya benar-benar kering sesampainya ia di sana. Tak ada kilau mentari di atas alur yang ia seberangi. Tak ada dedaunan yang memancarkan keceriaan. Setiap langkahnya seolah diiringi bunyi kres! ”Pak, apa yang terjadi dengan desa?” tanya Amer pada seorang pria yang sedang menarik gerobak berisi dua kendi.
”Apa kau tidak tahu? Musim kering terparah telah tiba. Hukuman dua puluh tahun lalu terulang kembali. Kalau kau ingin tetap hidup, sebaiknya kau juga mencari air di tempat lain. Tempat yang jauh.” Pria itu melanjutkan jalan.
Amer kembali menggerakkan kudanya. Sebuah rumah di seberang sungai adalah tujuannya. Hanya pepohonan bersama paduan suara alam yang menemani rumah itu. Megah dibanding lainnya. Ia masuk tergesa-gesa ke dalamnya.
”Hari ini telah datang, ya? Ketika angin berhembus tanpa sentuhan dan rembulan pancarkan kegelapan.” kata seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang.
”Amora. Apa yang terjadi? Dapatkah kau jelaskan kenapa embun harus menetes? Haruskah rasa selalu diiringi luka?”
”Segalanya takkan dirasa ketika kau di sini, Amer. Kau adalah sebuah harapan. Gemerlap bintang ketika mataku terpejam.”
”Kemanakah ayahmu pergi?”
”Ia mencari air untukku. Tapi aku khawatir ia tak kunjung kembali.”
”Aku harus meminta maaf kepadanya, juga kepadamu, Amora. Aku tak mendapatkan apa yang ia harapkan untuk aku bawa.”
”Sudahlah, jangan pikirkan itu.” Ia menggenggam tangan Amer. ”Keberadaanmu di sini lebih dari sejuta bintang. Uhuk... uhuk...” Ia menutup kalimatnya dengan batuk.
”Amora, penyakitmu semakin parah. Aku tidak ingin...” Ia menahannya, hanya menatap kekosongan.
”Kau tidak ingin?”
”Aku hanya ingin selalu bersamamu.” Ia menarik diri. ”Aku akan segera kembali, Amora. Aku janji.” Langkah pertama segera disusul dengan langkah kedua dan selanjutnya.
Angin bahkan terbelah karena larinya. Tak ada yang bisa menghalanginya saat ini seolah ia telah memperoleh kekuatan lebih. Rerumputan tinggi di depannya ia sisir, ular yang menghalanginya ia tangkap dan dilempar jauh. Ia lebih memilih mendaki tanah terjal meski ada jalan yang lebih landai.
Ia melompati batu besar itu dalam satu lompatan. Tenaganya kini berkali-kali lipat daripada saat ia kemari sebelumnya. Matanya menatap tajam hingga dapat menusuk siapapun yang ia tatap. Jejakan kakinya menghancurkan tumpukan daun kering yang ia lalui. Ia memukul setiap ranting rendah yang menjadi penghalang baginya hingga banyak ranting jatuh di sepanjang jalannya. Tampak di depan sana Gua Naga.
Sama seperti sebelumnya, ia masuk tak terlalu dalam ke sana dan tampaklah pedang itu. Segera ia siapkan otot-ototnya dan menarik pedang itu sekuat tenaga. Dengan terus menegangkan ototnya tanpa henti, akhirnya pedang itu sedikit bergeser. Tak ada yang ia pedulikan, bahkan apa yang disebut rasa sakit. Paradigma itu akhirnya dipatahkan. Ia mengangkat pedang itu tinggi-tinggi atas kemenangan ini.
Tak hanya pedang yang keluar dari batu itu. Air menyembur keluar dengan deras yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Semburan itu dapat mendorongnya hingga berguling-guling dan hampir jatuh ke jurang. Namun, tanpa peduli lagi, ia mengambil langkah. Baru ia teringat sesuatu.
Setelah kiranya segalanya telah siap, ia kembali menuju rumah Amora. Namun, sesuatu membuatnya menjatuhkan batok kelapa berisi penuh air di tangannya. Gerak cepat ia mendatanginya. Nadinya ia raba dan semua ternyata telah berakhir. Tak ada satu hal pun di dunia ini yang dapat menahan air matanya. Ia merintih akan luka yang terbuka lebar di hatinya. Tangannya menggenggam erat, seolah Amora dapat merasakannya. Tangannya yang sebelah menggenggam erat gagang pedang yang dengan seluruh pengorbanan ia dapatkan. Seolah itu semua tak ada artinya sekarang. Tapi, sesuatu dari hatinya memicu ayunan pedang ke perutnya sendiri. Ketika masih sadar, ia membaringkan diri di samping Amora, sambil sedikit demi sedikit dunia lenyap di matanya.

Arsyad M.D.

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com