Selasa, 17 November 2015

Simbah Darah Maghribi

Titik-titik iman yang bagai embun berhias kerlip kilau membasahi hatinya, hingga merembes ke lubuknya yang terdalam. Apa yang membuat ia di sini dengan pedang di sisinya?  Maka ia keluar ketika langit terlelap. Titik kilau itu ia pancarkan ke laut, kemudian ia melihat pantulannya. Sang Khalik kemudian memberikannya kembali gambaran itu. Seketika kilau itu menjadi nyata di matanya, kembali membasahi laut.
Ia tidak menyadari sebuah bayangan ikut keluar. Muncul dari dalam sana, dari keremangan lentera-lentera yang menggantung atau tegak bersama tiang. Kini bayangan itu mendekat di belakangnya. Tapakan kakinya di dek tak membuahkan suara yang berarti di telinga. ”Hai, prajurit. Apa yang membuat dirimu keluar ketika cahaya memudar?”
Ia tertegun, segera menghapus embun dari matanya. ”Oh, Panglima Thariq. Adakah tugas yang harus saya kerjakan?”
Thariq bin Ziyad, panglima gagah berani, orang yang sekaum dan sesuku dengannya, terdiam sejenak, kemudian berjalan ke arahnya. Dipandangnya langit yang sama. ”Kita baru saja meninggalkan Maghribi. Aku tak ingin satu hal pun mengganggu konsentrasi satu pun pasukanku. Ada apa gerangan yang membuatmu tak bisa tidur?”
”Apakah Allah akan memaafkan apa yang telah diriku perbuat, wahai Thariq?” tanyanya bersama kesyahduan membasahi matanya.
”Apa yang telah engkau lakukan? Ceritakanlah.”
”Saya pikir tidak ada salahnya jika saya menceritakan kepada Anda. Apalagi kita sama-sama berasal dari suku Berber. Saya adalah pembantai kaum muslimin di Maghribi.”
Thariq bin Ziyad dengan binar di matanya memperhatikan sang pasukan. Rambutnya menari-nari bersama angin di atas selat itu.
Putih mendominasi Rabat, berlapis jingga kecoklatan karena sang mentari di ujung barat. Panas yang sedari siang menjalari setiap sisi kini menarik satu demi satu sulurnya. Beberapa orang Berber masih berkeliaran di kota, sementara mereka yang telah barada dalam pengaruh islam melakukan hal yang sama dengan apa yang orang-orang Arab lakukan –meninggalkan aktivitas dan bersiap menghadap Sang Pencipta.
Salah seorang tentara Umayyah melakukan demikian pula. Ia bersama yang lainnya menjalankan solat berjamaah di sebuah masjid. Kemudian ia keluar. Tugasnya telah digantikan tentara lainnya. Ia berjalan menembus rentetan bayangan menuju rumah dan keluarga yang senantiasa menunggunya.
Sayangnya hari itu berbeda. Sekelompok orang dengan pedang di masing-masing mereka tiba-tiba menariknya. Mereka mengikat tangan dan kakinya  sehingga gerakannya terkunci. Mestinya ia merasa gemetar.
Salah seorang dari mereka pun melempar tanya, ”Apa kau merasa takut, orang muslim?”
”Kenapa aku harus merasa takut?”
”Kau sebentar lagi akan mati.” kata si pembunuh lagi sembari menarik pedang dan ujungnya menunjuk tepat di depan mata si prajurit.
”Kenapa aku harus takut pada kematian sementara ada siapa yang lebih aku takuti daripada itu?”
”Dan siapakah itu?”
”Tuhanku.”
”Jangan memakai topeng omong kosong yang mengatasnamakan Tuhanmu seperti itu. Keinginan kalian orang muslim hanya menginjak-injak tanah kami.”
Kemuadian pedang menusuk jantungnya, nyawanya melayang bersama iringan jihad fi sabilillah, ideologi yang telah agamanya tanamkan kepadanya. Darah memancar, membuat noda merah yang lebar di bajunya, juga mengalir di sekujur tubuhnya, hingga membuat genangan pekat di lantai.
Kemudian mereka tinggalkan jasad yang telah diselimuti angin itu. Pedang yang masih ternoda dengan darah tidak ia bersihkan, tapi langsung dimasukkan ke dalam sarungnya. Mereka masuk ke dalam bayangan.
Orang-orang menemukan tubuh tanpa nyawa itu paginya. Segeralah mayat itu dibersihkan, dikafani, kemudian dikuburkan. Sedihlah keluarga yang ia tinggalkan –seorang istri dan seorang putra. Meski sang ayah pernah berkata bahwa ada yang lebih patut dicintai daripada dirinya, air mata tetap tak terbendung.
Di kemudian hari, peristiwa itu menjadi bukan satu-satunya. Tragedi selanjutnya terjadi. Mayat lain, pelaku yang sama. Mayat itu juga ditemukan dalam posisi kaki dan tangan terikat, kemudian lantai bersimbah darah. Bukan hanya tentara Umayyah, melainkan warga sipil juga. Secara umum, pembunuhan ditujukan kepada orang-orang muslim. Awalnya orang-orang Arab saja, kemudian menjalari orang-orang muslim Berber. Bahkan, setelah itu pembunuhan semacamnya tidak hanya terjadi di Rabat, namun menjalar ke timur mengikuti garis pantai utara Maghribi.
Dapat disimpulkan bahwa pembunuhan itu terjadi di tempat-tempat tertentu; tempat-tempat yang tak seorang pun mengunjunginya. Si pembunuh juga bergerak semakin ke timur. Maka para petinggi muslimin memperketat penjagaan. Tentara diperketat, warga sipil pun semakin menjaga diri.
”Wahai pembunuh, apa yang membuatmu melakukan hal yang sedemikian keji?” tanya seorang ulama yang menjadi sasaran pembunuhan.
”Apa aku harus menjawab pertanyaan itu?”
”Tentu saja. Perbuatan yang seperti ini dapat membuatmu mendapat siksa di neraka. Tapi Allah pasti memaafkanmu jika kau mau bertaubat. Jangan kau kotori masa mudamu ini dengan dosa-dosa seperti ini.”
”Jangan sesumbar dengan omong kosongmu. Ideologi kalian orang-orang muslim yang kalian bawa dari Tuhan kalian hanyalah kematian. Pedang ini satu-satunya yang ayahku tinggalkan sebelum kalian merenggutnya. Ini adalah pesan balas dendam.”
”Orang-orang muslim tidak akan membunuh tanpa alasan. Hal yang demikian tidak dicontohkan oleh Rasul kami. Lagipula, orang-orang Berber telah berbondong-bondong masuk islam.”
”Diamlah!” Si pembunuh pun menusukkan pedang yang telah sering menyentuh darah itu. Darah suci menempel pada ukiran di pedang itu, menghilangkan kilaunya. Darah juga mengubah warna pakaian putih tanda suci menjadi merah tanda pengorbanan.
Sang ulama itu adalah mayat terakhir, setidaknya untuk beberapa hari. Si pembunuh sepertinya tak beraksi lagi untuk waktu yang lama dibanding interval antarpembunuhan yang sebelumnya terjadi. Tiada lagi hal yang membuatnya terjadi selain meningkatnya keketatan pengawasan pasukan Umayyah di segala penjuru Rabat, bahkan seluruh Maghribi.
Terlepas dari peristiwa ini, masalah lain terjadi di tanah Maghribi.
”Apa yang terjadi?” tanya Uqbah bin Nafi, sang gubernur.
”Orang-orang Berber banyak yang meninggalkan islam.” jawab salah seorang petinggi Maghribi.
”Maksudku, apa yang membuat mereka melakukannya?”
”Sepertinya mereka belum bisa menerima islam sepenuhnya, wahai Uqbah.”
Orang-orang Berber kini banyak yang murtad. Hal ini bukan pertama kalinya terjadi. Mereka juga pernah masuk, kemudian keluar islam, kemudian masuk lagi. Kini, mereka keluar lagi. Tak hanya itu. Orang-orang Berber ini juga melakukan pemberontakan untuk beberapa kali. Inikah buah yang sang gubernur dapat dari setahun penaklukannya?
Si pembunuh kemudian memanfaatkan kesempatan ini. Ia menyusun rencana bersama kelompoknya untuk menjatuhkan pemerintahan Umayyah atas suku Berber. Maka, mereka mengadakan pertemuan di suatu daerah di luar Rabat.
”Inti dari semua ini adalah si gubernur, Uqbah bin Nafi yang dulu menundukkan suku Berber.” kata si pembunuh.
”Ya, aku setuju. Kita sebaiknya mengakhiri hidupnya.” kata salah seorang temannya. ”Dimana dia saat ini?”
”Tentu saja di Ifriqiyyah. Pusat pemerintahan mereka. Qairuwan.”
Maka, bersiaplah mereka. Mereka menyiapkan segala perbekalan untuk menembus panas dalam jarak yang panjang. Pedang dan senjata lain dibersihkan, diasah. Malam itu juga, mereka berangkat dengan kuda.
Semua kekacauan yang sedang dialami orang-orang Umayyah ini benar-benar membantu bagi mereka. Ketika orang-orang Berber membangun kekuatan, mereka juga harus membangun kekuatan. Maka sekian jauhlah konsentrasi mereka pada pembunuhan-pembunuhan yang telah terjadi, karena ada kematian lain yang lebih terang-terangan terjadi. Apalagi, tak satu pun orang pernah menjadi saksi atas kematian-kematian yang si pembunuh dan kelompoknya ciptakan.
Dengan berbekal pakaian-pakaian selayaknya pedagang Arab, mereka menembus berbagai daerah. Ketika mereka temukan sejumlah pasukan Umayyah di suatu daerah, mereka melewatinya dengan tenang. Tak satu pun orang menyadari bahwa mereka sekelompok pembunuh.
Si pembunuh juga merupakan orang yang cerdas dan lihai bersembunyi. Hal itu terbukti ketika ia jumpai prajurit Umayyah di siang hari. Ketika ia ditanya siapa dirinya dan kelompoknya itu, ia menjawab, ”Kami hanyalah para pedagang biasa.”
Namun, prajurit Umayyah itu masih memiliki kecurigaan terhadap mereka. Kemudian diceknya karung yang dibawa si pembunuh. Karung itu adalah karung yang pembunuh gunakan untuk menyimpan senjata-senjata mereka. Gemetarlah anggota si pembunuh yang berjumlah empat orang itu, namun tidak bagi si pembunuh sendiri. Ternyata si prajurit membiarkan mereka terus berjalan.
Keempat anggotanya dibuat terheran karenanya. Padahal mereka yakin, di sanalah mereka menyembunyikan senjata-senjata mereka. Ternyata, apa yang dilihat si prajurit adalah setumpuk gandum. Si pembunuh telah menyiapkan hal ini ketika mereka istirahat di malam sebelumnya. Itulah yang membuat si prajurit percaya bahwa mereka hanya membawa gandum.
Keberuntungan berpaling darinya. Di suatu malam, ia melihat seorang prajurit Umayyah yang sedang sendiri. Teringat kembali ia pada ayahnya, ketika suatu malam mereka sendiri dan datang sekelompok orang berpakaian selayaknya orang arab menggeret ayahnya, meninggalkannya sendiri. Emosinya memuncak dan ia hendak melakukan hal yang sama.
Mereka mendatanginya diam-diam, kemudian mengepungnya. Namun, si prajurit lebih tangkas dari siapapun yang pernah dihadapinya selama ini. Lima lawan satu, seharusnya menang lima. Tapi kali ini imbang, untuk sementara. Datanglah prajurit lain yang menyadari hal ini. Bantuan datang, mengubah perbandingan. Lima lawan belasan. Menyadari tak bisa menang, si pembunuh dengan kelompoknya lari dengan kuda mereka. Sayangnya, salah satu anggota berhasil ditangkap, dan mereka membiarkannya. Kekhawatiran kini mulai ia rasakan, meski Qairuwan sudah dekat.
Dengan penuh kehati-hatian, empat orang itu tetap berhasil menjejakkan kaki di Qairuwan. Di depan sana adalah kediaman sang gubernur. Saat itu adalah tengah malam. Waktu yang paling tepat. Dengan kehati-hatian yang sebagaimana ia berhati-hati sejak kejadian itu, mereka mendekatinya.
Satu hal yang lupa ia perhitungkan, penjagaan kini lebih ketat. Kata lainnya, para prajurit telah menunggu kehadiran si pembunuh di sana. Tingkah laku mencurigakan mereka langsung membuat seorang prajurit memergoki mereka. Datanglah prajurit lainnya. Rencana mereka telah gagal dan kini mereka harus beradu pedang dengan beberapa prajurit. Semakin lama, kekalahan mereka semakin pasti. Kembali mereka mengendarai kuda secepatnya.
Dalam pelarian, ketiga anggotanya yang tersisa tertangkap. Kini ia sendiri. Rasa takut yang bercampur amarah mengaduk-aduk hatinya, membuatnya tak peduli pada apa yang terjadi di sekitarnya. Ia hanya harus menjauh, terus menjauh, bahkan tanpa tahu ke arah mana ia menjauh.
Ia terus berlari sampai ia menyadari bahwa ia tiba di sebuah gurun. Ia semakin ke selatan. Para prajurit tak lagi menjangkaunya, itulah yang membuatnya dapat bernapas lega. Baru setelahnya, ia teringat akan teman-temannya. Amarahnya semakin memuncak dan rasa ingin balas dendamnya pun meningkat.
Terlepas dari para prajurit tak membuatnya terlepas dari masalah. Para prajurit tak menjangkaunya, namun ia kini tak dapat menjangkau sumber kehidupan. Kemana pun ia menuntun kudanya, tak juga ia menemukan air. Matahari semakin tinggi, semakin panjang pula sulur sinarnya, dan semakin kuat sengatannya. Si pembunuh hanya terjemur seharian penuh di gurun itu. Tanpa air, tanpa makanan. Bagaimana ia dapat bertahan?
Dua hari ia terkurung di gurun ini. Hanya berjalan ke sana kemari, berharap ada sesuatu yang dapat memuaskan dahaganya. Umurnya yang masih sangat muda ini yang membuatnya belum pernah menjelajah sampai ke sana. Satu-satunya yang dapat ia lakukan hanya berjalan ke utara. Namun, itu akan membuatnya tertangkap prajurit Umayyah.
Sore hari, ia turun dari kudanya, berjalan terhuyun-huyun ke arah sebuah tebing, menjatuhkan diri. Ia hanya terbaring, menatap langit, sampai sebuah pemandangan menarik perhatiannya. Seseorang dengan pakaian orang Arab sedang menuju utara dengan untanya. Kain menutup seluruh mukanya, selain tentu saja kedua mata. Orang muslim, pikir si pembunuh, yang kemudian memutuskan untuk membunuhnya. Selain itu, ia pasti membawa perbekalan.
Si pembunuh berlari ke sebuah batu, bersembunyi di baliknya. Ketika orang itu melewatinya, ia akan segera menyargapnya.
Maka hal itu terjadi. Ia melompat ke atas unta, sehingga penunggangnya terjatuh. Keduanya berguling, si pembunuh memberi beberapa pukulan. Si pembunuh kemudian menarik pedang dari sarungnya dan mengayunkannya pada si penunggang. Si penunggang ternyata juga membawa pedang dan ia menepisnya. Entah kenapa, tiba-tiba ia menjatuhkan senjatanya, padahal seharusnya ia dapat menepis serangan selanjutnya. Mata pedang pun menembus perutnya. Darah bercucuran, terserap oleh tumpukan pasir tebal di bawahnya. Tubuhnya tergelepar.
Penunggang telah dibereskan, saatnya mengambil seluruh hartanya. Ia juga mengambil pedang si penunggang. Baru setelah itu ia perhatikan sungguh-sungguh pedang itu –sangat mirip dengan pedangnya, bahkan sama. Ia semakin dibuat penasaran oleh si penunggang yang bahkan sudah mati itu. Ia membuka kain yang menutup muka si penunggang, dan ketika itu, ia terperengah. Lututnya lemas. Ia tak sanggup berdiri. Kedua pedang yang sama itu jatuh, saling silang, sementara dirinya terbaring tanpa daya sejajar dengan si penunggang.
”Kau membunuh ayahmu sendiri?” tanya Thariq yang bukan dengan amarah pada si mantan pembunuh, melainkan rasa empati.
”Ya, wahai Thariq. Tanganku telah dipenuhi oleh dosa, dan yang terakhir adalah kejahatanku yang paling mengerikan.”
”Musa kini benar-benar menanamkan nilai-nilai islam kepada orang-orang Berber, termasuk dirimu. Dan kau kini memiliki posisi seperti prajurit yang telah kau bunuh. Kalau kau benar-benar menanamkan nilai seperti bagaimana mereka menanamkan nilai-nilai islam di hati mereka, maka Allah akan memaafkanmu. Dan buktikan bahwa kau sama berharganya dengan mereka.” Thariq terenyum dan menepuk pundak si prajurit, kemudian ia berbalik, berjalan.
”Oh, iya. Siapa namamu?” Thariq sementara menghentikan langkahnya.
”Walid bin Ghafar.”

Arsyad M.D.

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com