Sabtu, 05 Desember 2015

Negeri di Bawah Awan

Awan adalah tanah di sini, bisa menopang setiap pijakan kaki. Anak itu berlarian di sana. Terasa diusap dengan kapas lembut. Itu mengepul mendinginkan kakimu, kemudia menguap. ”Papa, Papa. Apakah benar-benar ada negeri di bawah sana?”
”Ya, tentu saja. Di sana ada tempat di mana bunga berkembang. Gunung berdiri dengan tegak. Lautan terhampar dengan luas.”
”Apa papa pernah pergi ke sana?”
”Ya, tentu saja. Dulu Papa tinggal di sana.”
”Apakah benar-benar ada naga yang bisa menyemburkan api di sana?”
”Naga? Ha...ha...ha... Tidak, Nak. Hal seperti itu tidak ada di dunia ini.”
”Apa Papa sudah menyusuri setiap tempat di sana?”
”Hmmm, belum juga. Tapi, Papa tahu. Seseorang memberi tahu Papa.”
”Bagaimana dengan Menara Tinggi? Apakah itu juga dongeng?”
”Kalau itu bukan dongeng. Itu benar-benar ada. Meskipun tak semua orang memercayainya.”
”Apakah Papa pernah melihatnya sendiri?”
”Ya. Orang itu juga yang memberitahu Papa tentang menara itu. Duduklah. Papa akan menceritakannya kepadamu.”
Seandainya kau bisa datang ke sini, kau akan mendapati sesuatu yang lain. Rumput terhampar begitu luas, seluas batas pandang matamu. Awan-awan indah selalu menggulung di atasnya. Setiap orang selalu memandang langit setiap harinya, berharap bisa menginjakkan kaki di kapas lembut yang beterbangan itu.
Hanya satu sungai yang mengaliri tanah ini. Kabut tebal menggumpal di atasnya setiap hari. Sungai itu membelah tanah menjadi dua daerah. Di sebelah barat disebut X, sementara bagian timur sungai disebut X’. Tak hanya lebar, sungai ini juga deras. Bayangkan saja, kau berlayar di atasnya, berharap bisa menyeberanginya sejauh jarak X ke X’, yang bernilai sekitar seratus meter. Tentu saja jarak yang kau tempuh lebih besar dari itu, tergantung seberapa cepat perahumu berlayar. Sayangnya, teknologi paling baik di sini hanya bisa membawamu berlayar dengan kecepatan satu meter tiap detiknya.
Tak banyak yang bisa menyeberangi sungai ini. Bahkan, sudah hampir sepuluh tahun tak ada yang mampu menyeberanginya. Orang pertama yang menyeberanginya adalah seorang pria yang diusir dari barat. Orang-orang barat percaya bahwa dia pasti mati. Tapi, takdir tidak berkata demikian. Dia mampu bertahan, kemudian menginjakkan kaki di timur, sesuatu yang dianggap sangat baru.
Ternyata, dia bukanlah yang pertama kali menginjakkan kaki di sana. Dia bertemu dengan Hutan, seorang wanita yang kini dikenal dengan nama Abadi.
”Namaku Hutan. Itu karena aku mendapat tugas untuk menjaga hutan di sini.” katanya, ketika pertama kali mereka bertemu.
”Siapa yang memberimu tugas? Aku tidak melihat ada orang lain di sini.”
”Memang tak ada orang lain di sini. Aku mendapat tugas dari seseorang yang aku belum tahu nama dan wujudnya.”
”Bagaimana kau bisa mendapat tugas dari seseorang yang bahkan belum pernah bertemu denganmu?”
”Tapi, dia benar-benar ada dan dialah yang memberiku takdir itu. Dia datang dari tempat yang disebut Menara Tinggi.”
Itulah pertama kalinya orang dari X mendengar tentang Menara Tinggi. Mereka berdua menikah dan membangun peradaban baru di sana, yang mereka namai X’. Lambat laun, peradaban semakin berkembang dan sejajar dengan peradaban yang mendahuluinya, X. Orang-orang yang penasaran melakukan pencarian terhadap Menara Tinggi. Kisah itu pun hanya menjadi legenda.
Hutan meninggal jauh setelah suaminya meninggal, yaitu seribu tahun. Bukan karena tua. Ia tak bertambah tua sedikit pun. Itu karena ia dibunuh dalam sebuah peristiwa perang saudara. Penerusnya mengabadikannya dengan sebuah bintang yang bersinar terang, yang disebut Cahaya Abadi. Kisah tentang Menara Tinggi pun menjadi mitos, dan semakin hilang.
Kembali ke masa kini. Seseorang mengapung di atas sungai. Pandangannya menatap tajam sebuah pohon yang dilewatinya. Apa yang dilakukannya? Satu, dua, tiga, empat, lima! Ia menghitung detik dalam hatinya. Pohon itu kini sekitar lima puluh meter di belakangnya. Oh, jadi begitu, kata orang itu dalam hatinya.
“Jadi, berapa jarak terpendek yang harus ditempuh dari X’ ke X? kataku.
”Hm... biar kuhitung dulu.” Orang itu merenung. ”Sekitar seribu meter?”
”Ya, benar. Akhirnya kau mengerti. Tapi, itu masih sekitar.” kataku.
”Ya, aku mengerti itu sekarang. Tapi, aku masih belum mengerti. Kenapa aku tak bisa melihatmu? Bagaimana wujudmu?”
”Tentu saja tidak. Kau tak mampu melihatku karena aku berada di dimensi yang berbeda denganmu.”
”Dimensi yang berbeda, ya? Aku masih belum paham. Huh, sudahlah. Kapan kita bisa sampai ke X? Kenapa harus ada kabut menyebalkan ini, sih.”
”Kabut ini sangat berperan dalam takdir dunia ini. Lagipula, lebih seru bukan, berlayar di antara kabut?”
”Ya, seru. Dan menakutkan. Bagaimana kalau kita tersesat? Semua selalu begitu.”
”Kali ini tidak. Kau tidak akan tersesat.”
”Ya, aku percaya padamu. Sudahlah aku mau tidur.”
Setelah beberapa saat, perahunya menyenggol daratan. Ia pun membuka mata. Tampak kantuk masih menempel di sana. ”Sudah berapa lama ini? Tiga jam? Aku biasanya lupa waktu kalau sedang tidur.”
”Semua orang juga begitu. Tapi tenang saja. Kau hanya tidur satu menit.”
”Satu menit? Aku akan butuh tidur lagi.”
”Baiklah. Sampai di sini, kau melanjutkannya sendiri.”
”Apa? Aku tidak bisa melakukannya tanpamu. Kenapa aku harus sendiri?”
”Ya... tidak ada alasan yang pasti. Hanya saja, cerita ini butuh konflik.” Aku pun pergi.
”Hei, tunggu!” Ia memanggil, tapi aku tak memberinya jawaban. Aku hanya memperhatikannya dari kejauhan, meski ia tak dapat memperhatikanku. Ia menghela napas, sepertinya pasrah.
Setelah kaki berlapis  sepatu botnya masing-masing mengayun sekitar lima ratus kali, gerbang raksasa menyambutnya. Tembok besar nan tebal mengapitnya. Setelah melewati seleksi oleh penjaga gerbang, akhirnya kota itu memasuki penglihatannya. Kota megah yang selama ini hanya ia dengar sebagai suara. Kota yang telah lama menjadi legenda. Kota di mana para raja agung dikuburkan. Kota di mana segalanya dimulai. Kota yang orang-orang menyebutnya sebagai pusat X. Kota yang juga memiliki nama Siti.
Meski peradaban di X’ telah berkembang dengan baik, peradaban di sini tampak lebih maju. Orang-orang menyusuri jalan dengan kereta kuda. Desainnya tampak memiliki ciri yang berbeda dengan desain kereta di timur, meski ada beberapa kesamaan. Tentu saja, karena peradaban di timur berasal dari sana.
Bangunannya pun demikian. Setiap rumah berwarna putih dan selalu memiliki pilar di depannya. Pilar itu berbentuk lingkaran yang semakin ke atas, jari-jarinya semakin besar. Kalau kau bingung, bayangkan saja seperti grafik logaritma natural. Entah dari mana ide bangunan seperti itu datang.
”Pak, apa Anda tahu dimana Menara Tinggi itu?” tanyanya hampir kepada setiap orang yang dijumpainya. Sekitar 70% menggelengkan kepala, 20% berkata tidak tahu, sisanya tidak peduli.
Kisah tentang Menara Tinggi memang telah sampai di sana. Beberapa orang dari timur dulu menyeberangi sungai, membawa kisah itu sebagai dongeng. Namun, dongeng itu tak menjalari masyarakat barat dengan baik. Justru yang menjadi daya tarik adalah bagaimana ada orang datang dari dalam kabut. Mereka kemudian berusaha lebih keras untuk menyeberangi sungai itu. Dalam program penyeberangan seratus orang, delapan puluh orang tewas, sebelas luka-luka kemudian tewas, yang lainnya luka-luka tapi selamat. Sejak saat itu, mereka saling mengetahui peradaban masing-masing.
Kabut hampir mengisap matahari dilihat dari sini, sebuah bangunan yang cukup tinggi. Ia hanya memandangnya, namun ada keputusasaan di wajahnya. Angin menyapanya, namun ia tak membalas. Hal yang paling ia inginkan adalah apa yang masyarakatnya paling inginkan; menginjakkan kaki pada awan di atas sana, serta melihat hujan yang masih menggantung. Itu pasti akan menyenangkan.
Tiba-tiba pintu di belakangnya terbuka, dua orang pria berseragam menatap tajam dan berjalan ke arahnya. Mereka memegang lengannya kemudian menggeretnya ke dalam sana. Ia sempat menolak, tapi sebuah pukulan merobohkan kesadarannya.
”Siapa kau? Apa urusanmu dengan Menara Tinggi?” kata seseorang yang berdiri di depannya ketika ia terbangun.
”Aku akan menemukannya.”
”Hal itu tidak ada.”
”Tentu saja ada. Dia sendiri yang mengatakannya kepadaku.”
”Legenda Sang Penulis? Orang yang bisa mewujudkan tulisannya menjadi nyata? Orang itu tidak benar-benar ada.”
”Tentu saja ada.”
”Dulu pernah ada yang datang dan membawa kisah itu. Dongeng itu mengacaukan negeri ini. Sejak saat itu, aku bersumpah untuk menepis kisah itu dari sini. Gantung dia!”
Dua orang pasukan di dekat sana kembali memegang pundaknya, kemudian menyeretnya. Semua usahanya untuk melepaskan diri tak ada artinya. Namun, takdir tak mengijinkan mereka untuk membunuhnya. Kedua pasukan itu tiba-tiba terjatuh.
”Apa yang terjadi?” Pria misterius itu kebingungan.
Seseorang muncul dari dalam kegelapan, berjalan lambat. ”Kenapa kau tidak percaya pada kisah itu? Kisah itu benar-benar ada. Buktinya, kisah ini ada. Apa kau tidak apa-apa, El?”
Ia menghela napas. ”Akhirnya kau datang.”
”Ya. Ini sesuai takdir yang tertulis. Aku hanya ingin pamer.” Orang itu akhirnya menampakkan diri dalam cahaya. Pria berkaus hijau kekuningan dan berkaca mata. Ia tak tampak mengerikan.
”Siapa kau?” Pria itu terheran.
”Aku adalah Sang Penulis yang kau sebutkan itu.” Ia masih terus berjalan. ”Namaku Arsyad Maulana Dzulqornain.” Ya, aku membuat wujudku sendiri dalam kisah ini untuk menemui karakter ciptaanku ini.
”Jadi, itu namamu?” tanya El.
”Ya. Baru kalian berdua yang melihatku. Namun, ini bukan wujud asliku. Kalian takkan mampu melihatku secara langsung karena aku berada di dimensi lain.”
”Hmh, mari kita buktikan.” Dia melesat, menyeret pedangnya, segera menusukku. Aku pun terjatuh. ”Sang Penulis? Yang benar saja. Kalau memang benar, aku telah membunuhnya.”
”Benarkah?” Suaraku muncul dari belakangnya. Ia tampak memandangku dengan kesal, apalagi ketika ia melihat tempatku terbaring sebelumnya dan tidak ada apa pun di sana. Ia kembali menyiapkan pedangnya.
”Sudahlah. Kau takkan bisa mengalahkanku. Takdirmu ada di tanganku. Akulah yang mengaturnya. Aku bisa menjadikan tulisanku menjadi kenyataan di sini.” Seketika pedang itu melesat dan menusukku. Aku tak merasakan apa pun. ”Ayolah. Apa yang terjadi di sini adalah sesuai kehendakku. Aku telah menentukan alur ini, takdir ini.” kataku sambil mencabut pedang itu dari perutku. Tak ada darah yang keluar. ”Aku memberi diriku kemampuan seperti yang aku inginkan dan aku memberimu kelemahan seperti yang aku inginkan.” Aku melempar pedang itu padanya, dan dengan kehendakku dalam kisah ini, pedang itu membelah diri menjadi dua dan menusuk kedua sepatunya. Dengan kehendakku, pedang itu tak melukainya. Ia hanya tak bisa bergerak.
Aku menghilang, kemudian muncul tiba-tiba di hadapannya. Tentu hal itu membuatnya kaget. Tanpa aksi apapun, kubuat dia melayang tinggi hingga kedua sepatunya terlepas dan tertinggal di tanah. Setelah cukup tinggi, aku menjatuhkannya.
Ia menjerit, sampai aku menghentikan kejatuhannya. Ia hanya mengambang di udara. ”Turunkan aku!” katanya.
”Kukira kau takut diturunkan.” Aku pun menurunkannya perlahan. ”Baiklah. Aku akan memberi tahu kalian berdua tentang Menara Tinggi.” Setiap sisi ruangan sedikit demi sedikit menjadi abu, beterbangan mengelilingi kami, membentuk pusaran angin. Abu-abu itu kemudian membentuk sebuah ruangan yang baru, gedung yang baru.
”Jadi, inikah Menara Tinggi?” tanya El.
”Sebenarnya, aku bisa membuat Menara Tinggi di mana pun di dunia ini. Sin, apa kau juga ingin pergi ke suatu tempat?”
”Bagaimana kau tahu namaku?”
”Sudah kubilang. Semua yang terjadi di sini sesuai dengan alur yang telah kugariskan. Kau adalah hasil dari imajinasiku, hasil tulisanku, ciptaanku”
”Tidak. Aku tidak akan meninggalkan kotaku.”
”Ya, aku mengerti. Kau memang mencintai kotamu. Bagaimana denganmu, El? Apa kau siap untuk pergi?”
”Ya. Tapi, boleh aku bertanya satu hal?”
”Kau pasti akan bertanya, ‘kenapa kau membantuku sampai sejauh ini?’ Baiklah, aku jawab saja langsung. Aku ingin kau membuka kisah baru di sana. Seperti bagaimana kisah baru di X’. Kau akan bertemu seorang wanita di sana, namanya Hujan. Kau akan menikahinya dan membangun peradaban baru. Sebut saja Y.”
”Baiklah, aku mengerti.” Ia tersenyum
”Duduklah di kursi itu.” Aku menunjuk sebuah kursi di tengah ruangan.
Ia mendudukinya, dan setelah itu energi dahsyat datang dari langit, mengenainya. Ia seolah diisap dalam kumpulan cahaya aneka warna itu. Kemudian, dia menghilang.
”Jadi, Papa pernah bertemu Sang Penulis?” tanya anak itu.
”Ya. Papa adalah orang pertama.”
”Apakah aku juga bisa bertemu dengannya?”
”M... entahlah. Tapi, dia menyerahkan negeri Y padaku. Kita harus mencoba membangkitkan kisah tanpa dia terlibat di dalamnya. Kalau dia terlibat lagi, semua terlalu mudah menjadi beres. Kita harus melakukannya dengan usaha kita sendiri.”
Anak itu mangut-mangut.

Arsyad M.D.

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com