Minggu, 29 Mei 2016

Kau Bisa Isikan Apa pun di Sini



”Apa!? Judul macam apa itu?” kata sosok yang tak tampak.
Diamlah! Aku pikir kata-kata tidaklah memihakku. Aku berpikir, sebaiknya aku tak menulis. Aku tak tahu apa yang sebaiknya kulakukan sekarang. Huh, aku bosan. Apa yang akan kulakukan di saat seperti ini? Hm... aku lebih suka menonton Spongebob Squarepants. Namun aku sadar tak ada televisi di sini. Ada, di kantin. Tapi mereka tidak menyetel Spongebob Squarepants di sana. Kalau saja aku menemukan remotnya.... kalau saja? Benarkah aku akan menggantinya? Ya, atau tidak? Tetu saja, meski ya, kupikir itu takkan semenyenangkan dulu. Terlalu banyak adegan yang dipotong dalam kartun itu.
Mungkin aku lebih suka menghitung bintang. Satu.
”Hanya satu?” tanya sesosok yang tak tampak.
Ya, hanya satu bintang yang kudapati. Tentu saja, ini siang hari. Hanya satu bintang, matahari yang berhadapan denganku.
”Benarkah?” kata sosok lainnya.
Ya, tentu saja. Hei, tunggu dulu! Apa yang kau maksud dengan “benarkah”? Biar kupikir. Oh, aku paham. Kau ingin aku membuka mataku? Ya, tentu saja. Aku dulu melihat bintang, bahkan ketika mereka tak tampak. Itu saat yang menyenangkan. Aku tidak perlu ikut pelajaran di kelas, aku bisa browsing sesukaku, dan bahkan sekolah memberi sarapan dan makan siang gratis padaku.
Benar-benar saat yang menyenangkan. Aku begitu bangga meski hanya lolos seleksi olimpiade astronomi tingkat kabupaten. Di provinsi, aku jatuh. Dua tahun berturut-turut itu terjadi. Setiap sore aku mengajar dua orang adik kelasku. Mereka setim denganku. Kami menggambar bola langit di kertas. Lalu, kami meletakkan bintang-bintang di sana. Ada Matahari, Aries, Rigel, Polaris, Alpha Centauri, Aldebaran, Sirius, dan lainnya sesuai deklinasi dan asensiorekta masing-masing.
”Bintang apa yang paling besar?” tanya sosok lain yang juga tak tampak.
Sebenarnya aku sudah lupa. Tentu saja, aku lebih sering bermain-main dengan Matahari dan Aries. Merekalah yang terpenting untuk menentukan Waktu Matahari dan Waktu Bintang.
”Tunggu tunggu tunggu!” kata sosok kedua. ”Kenapa kau memaknai ‘benarkah’ dengan seperti itu?”
Apakah ada makna “benarkah” yang lain? Biar kuingat. Oh, tentu saja! Itu saat-saat yang seru.
”Apa kau sadar berapa frasa ‘tentu saja’ yang telah kau ucapkan?” kata sosok lain.
Biar kuselesaikan dulu ceritaku. Ketika subuh, aku bersama adik dan ayahku pergi ke masjid. Tentu saja udara begitu dingin. Ketika berjalan pulang, aku menatap langit. Entah kenapa aku hanyut dalam suasana yang begitu tenang. Aku berpikir, aku harus pergi ke sana suatu saat nanti. Tapi, setelah kupikir, kemungkinannya kecil. Tentu saja, itu tak berhubungan dengan cita-citaku masuk Jurusan Teknik Kimia ITB.
Aku ingin melihat bintang di sini. Aku ingin berbaring dan melihat ke atas, menatap bintang-bintang. Tapi aku tak mendapatinya. Tentu saja, aku tidur di kamar, hanya melihat langit-langit. Tidak juga. Terkadang aku tidur di sekretariat organisasiku.
”Apa kau pikir pembaca akan paham jika kau menggunakan kata ganti ‘sosok yang tak tampak’ untuk kami? Maksudku, kami berjumlah sangat banyak. Untuk membedakan kami, kau hanya menggunakan frasa ’sosok lainnya’. Really?” kata sosok tak tampak lainnya.
Lalu, apa yang sebaiknya kulakukan? Mungkin aku harus memulai dari awal. Anggap saja kalimat di atas ini tidak ada. Tapi, aku tak mau menghapusnya. Itu sia-sia. Tentu saja aku akan memulai dari perkenalan. Namaku Arsyad Maulana Dzulqornain, juga dikenal sebagai The Legend from Magelang.
”Benarkah?” Sesosok yang tak tampak menyipitkan mata, meragukan.
Diamlah! Ini ceritaku, aku bisa melakukan apa pun di sini. Baik, kita lanjutkan. Namaku Arsyad, dan sosok-sosok yang tak tampak ini adalah teman-temanku. Mereka berjumlah ribuan, tapi aku takkan menyuarakan semua sosok yang tak tampak ini di sini. Tentu saja ini akan melelahkan. Biar kuperkenalkan. Itu A-001, itu Ar-007, itu S-555, lalu itu A-010, itu M-22A, kemudian itu Y-221, lalu itu D-Ars, itu M-123L, itu Dz-4Lq, dan itu Qor-1.
”Pertanyaan!” Qor-1 mengangkat tangan. Sebenarnya itu hal yang tak perlu dilakukan. Mungkin dia berpikir ini adalah kelas. ”Apa konflik cerita ini?”
Mereka mulai ribut. Masing masing menanyakan kembali pertanyaan itu. ”Iya, ya. Apa konflik cerita ini?” Keributan ini seperti di pasar.
Tek! Kujentikkan jari tengahku dengan ibu jari. Tiba-tiba tanah bergoyang. Mereka saling bertatapan, kemudian menatap lantai. Druak! Atap berlubang, moncong raksasa muncul. Gigi-gigi tajam menempel di rahang itu.
”Waaaaa! Ada dinosauruuuus!” Salah satu sosok yang tak tampak mulai menjerit, namun yang lain tidak memedulikan.
Mereka lebih memilih menatap ke bawah, mencari sumber getaran. Mereka tahu mereka tak perlu takut pada dinosaurus jika itu semacam compsognatus atau scipionix.
”Tepatnya, itu tyrannosaurus! Wuaaaaaa!” Ia melihat mata tyrannosaurus itu penuh kekejaman, penuh nafsu untuk makan.
”Wuaaaa!” mereka mulai menatap ke atas, menjerit, berlarian, lalu berhamburan. Mereka berusaha menemukan pintu. Hanya ada satu pintu di sini dan pintu itu tersembunyi. Suasana seketika menjadi kacau, tak ada yang fokus pada ceritaku.
Sesosok yang tak tampak, A-001, tiba-tiba berhenti. Ia meletakkan jari telunjuk dan ibu jarinya ke dagu, mencoba memahami sesuatu. ”Tunggu dulu! Bukannya kau bilang kami adalah sosok yang tak tampak? Kenapa dinosaurus itu bisa melihat kita? Mungkin ini semua hanya mimpi.” Ia lalu menutup mata dan fokus.
Aku berjalan ke arahnya santai. Kudekatkan mulutku dengan telinganya dan membisikkan, ”Ini bukan mimpi. Ini adalah cerita. Jangan menyangkal. Apapun bisa terjadi dalam cerita.” Ia masih tak menanggapiku. ”Baik, biar kubuat ini menjadi logis. Ini adalah dimensi ‘yang tak tampak’ dan dinosaurus itu adalah salah satu makhluk ‘yang tak tampak’.”
A-001 kemudian membuka mata, jernih dan berlukis senyuman seraya mengatakan, ”Nah, itu baru masuk akal.” Namun, seketika senyuman itu menjadi jeritan, mendapati rahang dinosaurus yang terbuka mendekatinya. Dinosaurus itu menelannya.
”Dia menelan A-001!” seru S-555.
Aku memandangnya santai, tanpa perasaan. Bukan karena aku tak memiliki perasaan. Aku hanya ingin melihat apa yang terjadi, menguji hipotesaku. Kemudian aku menepukkan tangan dua kali dan berkata, ”Nah, kupikir ini yang kalian...” Belum sempat aku selesai bicara, aku merasakan beban yang begitu berat di kepalaku, juga punggungku. Ini terjadi begitu saja. Ugh, terlalu berat.
”Dinosaurus itu menginjak Arsyad!” seru M-22A. ”Tiidaaaaaak!” serunya penuh penyesalan. Yah, lebih cenderung berteriak lebai. ”Kalau penulisnya tidak ada, apa yang akan terjadi dengan cerita ini?”
Seketika terbentuk suatu pusaran. Mereka semua berputar-putar di dalamnya bersama jeritan. Begitu pula dengan ruangan itu. Bangunannya rapuh, hancur, lalu ikut berputar-putar dalam pusaran. Tentu saja kalau bangunan itu tidak kuat, apalagi tyrannosaurus itu. Ia menggeram, seolah merasakan kesalahan telah menginjakku. Aku hanya menahan tawa melihat mereka semua.
SELESAI
Jangan percaya pada tulisan selesai itu, wahai kalian pembaca. Tulisan di atas sebenarnya hanyalah typo. Tulisan yang benar adalah “MULAI KEMBALI”. Hm... sebenarnya aku bingung, kata dari bahasa apakah typo itu. Aku tak menemukannya dalam KBBI. Tapi, setelah kucari lagi, ternyata itu bahasa inggris. Aku baru tahu, sebenarnya. Tulisan ini benar-benar membantuku. Tentu saja.
”Seberapa banyak kau akan menulis frasa ‘tentu saja’?” tanya A-001 yang sudah berada di posisinya semula.
Pertanyaannya itu sedikit masuk akal, sedikit tak masuk akal. Memangnya aku harus menghitung jumlah kata yang aku tulis? Tapi, jika memang itu maunya, sampai saat ini jumlah kata yang aku tulis ada 1.111, sementara frasa ‘tentu saja’ yang sudah aku tulis ada lima belas. Sudahlah, kembali ke pokok bahasan. ”Itu yang kalian inginkan, bukan? Konflik dalam cerita? Apa kalian menginginkan konflik lagi?”
Semuanya menggelengkan kepala, kecuali A-001 yang masih berpikir, meski dia sudah dimakan. ”Konflik ini masih tak masuk akal. Bagaimana ada dinosaurus di zaman seperti ini?”
Dengan tatapan tak menyenangkan, kuacungkan tanganku ke A-001. Seketika terbentuk lubang hitam di belakangnya. Itu menyeretnya. Teriakan “Wuaaaaa”-nya semakin teredam, kemudian lubang hitam itu tertutup. Masing-masing mereka hanya menatap bekas lubang hitam itu.
Kemudian terbuka lagi lubang hitam, kali ini di atap. Di sana, muncul A-001. Ia terjatuh menghantam lantai. Tapi ia tak merasa sakit.
”Kau masih menginginkan konflik di cerita ini?” tanyaku.
Ia hanya menggelengkan kepala.
Maka hipotesaku benar. Tokoh-tokoh dalam cerita pasti juga ingin menjalani kehidupan seperti yang mereka inginkan, tanpa konflik-konflik aneh seperti di kebanyakan cerita: percintaan, psikopat, juga pembunuhan. Sama halnya ketika kau ditanya oleh Tuhanmu, ”Apa kau ingin aku mematikan seseorang yang kau sayangi malam ini?” Kau pasti akan menjawab tidak.
Aku berpikir lagi, menimbang-nimbang. Sepertinya cerita ini semakin aneh. Bagaimana bisa menjadi seperti ini? Kurasa di awal cerita aku hanya menceritakan kebosananku. Kemudian, tiba-tiba ada dinosaurus. Kurasa aku hanya menuliskan apa yang tiba-tiba tertangkap pikiranku. Ah, terserah. Aku tidak memiliki ide lagi. Kata-kata tidaklah di pihakku. Sepertinya tak sebaiknya aku memaksakan ide dan menulis cerita setiap minggu.
Jika kuingat lagi masa kecilku, aku pernah bercita-cita menjadi ahli paleontologi, ahli dinosaurus, bukannya seorang penulis. Tidak, itu beberapa tahun setelahnya, setelah aku pertama kalinya tahu apa itu “cita-cita”. Di kelas dua MI, guruku menyuruh, atau halusnya meminta muridnya, termasuk aku, menuliskan cita-cita. Aku masih tak peham apa artinya “cita-cita” itu. Kuputuskan untuk menyontek temanku. Dia menuliskan bahwa cita-citanya adalah menjadi preman. Tentu saja aku menuliskan hal yang sama. Aku masih belum paham betul apa itu “cita-cita”.
Tentu saja, di rumah, setelah ayah dan omku membaca catatan sekolahku, mereka menertawakannya. Baru setelah mereka menjelaskan apa itu “cita-cita”, aku benar-benar paham.
”Cita-cita itu ya jadi guru, atau dokter, gitu.” kata salah satu dari ayah atau omku, aku lupa.
”Tulis saja menjadi preman yang berbudi, preman yang membela negara.” kata salah satu dari ayah dan omku.
Kemudian aku sering membaca majalah “Bobo”. Majalah itu memaparkan informasi mengenai dinosaurus. Di edisi lain, majalah itu memberi rujukan jika ingin membaca buku dinosaurus. Tentu saja buku itu dari penerbit yang sama dengan penerbit majalah itu. Aku sadar itu adalah iklan. Tapi, aku benar-benar mengajak ayahku untuk mencari buku itu. Tapi, kami tak menemukannya di sebuah toko buku di Muntilan. Untuk menutupi kekecewaanku, aku membeli buku lain, tapi juga tentang dinosaurus. Buku itu berjudul “Halo Dino! Scipionix” dan memiliki hard cover. Aku menyukainya dan lain hari, aku membeli serial lain dari “Halo Dino!”.
”Jadi, itulah kenapa tiba-tiba dinosaurus muncul begitu saja dalam pikiranmu?” tanya Ar-007.
Jika kuingat, sebenarnya tidak juga. Beberapa hari yang lalu aku mendapat kiriman di grup Line kata-kata “Dinosaurs didn’t read. Now, they are extinc.” dengan gambar fosil dinosaurus. Aku berpikir, apa benar mereka punah karena tidak membaca? Setelah kupikir-pikir, kalimat yang benar seharusnya “Dinosaurs are extinc. Now, they didn’t read.”. Ya, dinosaurus tidak membaca karena mereka sudah punah sebelum ada tulisan. Tentu saja, jika mereka masih hidup, mereka akan duduk di sampingku dan membaca ceritaku, bangga karena mereka masuk dalam tulisan Sang Legenda.
Kulihat jam. Setengah lima. Kenapa hanya dengan menulis hal seperti ini begitu memakan waktuku? Aku menulis sejak sebelum zuhur. Aku memiliki rencana memperbaiki sepedaku, tapi aku merasa malas. Aku memiliki rencana pergi ke Masjid Salman, tapi aku juga malas. Alasan yang lebih kuat adalah kalimat “realita takkan semulus rencana”. Teman-temanku, sepertinya pelampiasan kebosananku ini sudah cukup. Ini sudah enam halaman. Aku harus menyelesaikan tugas kimiaku yang berjumlah lima puluh enam butir soal dan tugas pendahuluan praktikum fisika. Sekian.
”Tunggu! Ayolah, satu halaman lagi.” kata A-010.
Aku tak jadi menutup Aplikasi Microsoft Word 2013 ini. Tapi aku bingung, apa lagi yang akan kutuangkan di cerita kacau ini. Aku menghela napas, kemudian berkata, ”Jika kau ingin lanjut, maka bacalah tulisan berikut ini.”
Demi Tuhanku, penguasa langit dan bumi, serta hari akhir, aku berjanji akan menganggap cerita ini sebagai cerita terbaik sepanjang masa, sekacau apa pun itu.
Yes, kena kau, pembaca! Aku yakin kau adalah orang yang beriman. Maka, tepatilah janjimu!
”Aku masih memikirkan kata-kata tentang dinosaurus itu.” kata Ar-007. ”Dinosaurus punah karena mereka tidak membaca? Tapi, binatang lain tidak punah meski mereka tidak membaca.”
”Itu hanya alasan saja, agar aggota Line yang lain membaca Line-nya.” kata M-22A. ”Memangnya, hewan apa yang sudah ada sejak dulu dan belum punah?” tanyanya.
”Apel!” seru Ar-007.
Semuanya menurunkan kelopak mata mereka hingga setengah menutup. ”Apel bukan hewan.” kata mereka.
”Oh, benarkah? Lalu, makhluk macam apa itu? Ah, sudahlah. Yang penting, apel adalah makhluk hebat yang tak punah meski tak membaca, bukan? Ia muncul di foto-foto model, di resep masakan, di buku ilmiah, dan ia bahkan sudah ada di surga sebelum manusia ada.” kata Ar-007.
Mereka tentu paham apa maksudnya. Ini seperti di cerpen beberapa minggu yang lalu. Ya, tentu saja. Aku hanya merangkumnya untuk kemudian dikatakan oleh Ar-007. Tapi, sebagian besar dari mereka sepertinya meragukannya. Buah yang ada di surga adalah buah kuldi atau ada yang menyebutnya eden, bukan apel. Jika banyak orang menulis buah kuldi adalah apel, maka banyak orang salah. Yang benar saja, sang manusia pertama dilarang memakan buah itu, tapi keturunannya diperbolehkan. Tentu saja itu tak mungkin, mengingat Tuhan Mahaadil.
Tapi sepertinya, itu ada benarnya. Buah apel sudah ada sejak lama di muka bumi, jika kita menggunakan teori evolusi Charles Darwin. Mereka hanya beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan, kemudian memiliki keturunan. Apel tak membaca, tapi mereka masih ada sampai sekarang. Dinosaurus dan apel memiliki banyak kesamaan: mereka sama-sama pernah hidup, mereka sama-sama ciptaan Tuhan, mereka sama-sama ada di bumi, mereka sama-sama merasakan kematian, mereka sama-sama memiliki massa, mereka sama-sama memiliki ukuran, mereka sama-sama memiliki kulit, dan yang terpenting, mereka sama-sama tak membaca.
Jadi, tak ada alasan untuk menyalahkan dinosaurus punah karena tidak membaca. Mereka punah karena mereka tidak mampu beradaptasi ketika meteor raksasa menghantam Meksiko enam puluh lima juta tahun yang lalu. Apel tidak membaca tapi mereka mampu mempertahankan kehidupan.
Jadi, kesimpulannya, hidup ini adalah pilihan. Apa kau ingin menjadi seperti dinosaurus, atau apel. Tunggu! Aku mulai mempertanyakan apa pentingnya aku membahas tentang ini.
”Aku lebih suka menjadi diri sendiri.” kata Dz-4Lq.
”Diamlah!” kataku, kemudian menengadahkan tangan dan menciptakan bom di sana. Kemudian aku membantingnya ke lantai dan meledak. Cerita ini pun berakhir. Ya, ini sudah tujuh halaman tepat. Sebenarnya aku bisa melanjutkan hingga seratus halaman, tapi kurasa sudah cukup.
Sepertinya menghitung jumlah kata dalam cerpen ini sama serunya dengan menghitung bintang. Ah, jumlah yang unik, 2222. Apakah ini kebetulan? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com