Minggu, 29 Mei 2016

Mawar Tersembunyi


Sesuatu berlandas hati manusia tak pernah memiliki standar tertentu sebagaimana fenomena fisik yang selalu dapat diukur. Seram memiliki ukuran berbeda di tiap orang. Namun, apabila diambil rata-rata mengenai ukuran seram dari berbagai belahan bumi, maka ya, rumah ini seram; rumah besar dengan banyak bagian tembok telah telanjang, sulur retak menyelimuti, sarang laba-laba di setiap sudut, ditambah lagi gerbang besi penuh karat. Tapi tak ada pilihan. Hujan, badai, petir, semua itu seolah berkolaborasi untuk memaksaku berhenti. Tempat itu satu-satunya perlindungan bagiku.
Decitan pintu yang bahkan mengalahkan petir membuka kembali ilusi berbasis ingatan dalam kepalaku. Beberapa waktu yang lalu, aku singgah ke sebuah desa. Desa yang telah kutinggalkan di belakang sana, namun masih dalam alur jalan yang sama ditambah satu atau dua belantara di antaranya.
Masyarakat percaya akan adanya sesuatu yang bersemayam di rumah besar di utara, rumah ini sepertinya. Mereka yang berani memasukinya akan tiba-tiba tertidur dan bangun entah di mana. Beberapa orang pernah melihat sosoknya.
”Kulitnya sepucat kutukan es. Matanya semerah darah berpendar dalam gulita. Taringnya setajam jarum suntik, penuh gairah menusuk lehermu dan mengisap darahmu hingga membuatmu seperti balon kempes.” Begitulah kata seseorang yang menceritakan hal itu padaku.
”Kau masih terhitung beruntung jika hanya mengalami hal itu di dalam sana. Tapi, jika kau telah mendengar suaranya, berakhir sudah. Kau bisa bayangkan itu sebagai... suara terakhir yang akan kau dengar di dunia yang indah ini.”
”Apa maksudnya?” Aku terheran.
Ia menuntunku ke sebuah rumah, membuka tirai merah. Seseorang terbaring di sana. Mulutnya menganga, bibirnya gemetar, pandangan hanya tertuju pada kegelapan.
Ah, sudahlah. Aku tak boleh membiarkan ilusi itu mengusikku.
Di banyak film, pintu akan langsung tertutup dengan sendirinya begitu seseorang memasuki gedung berpenghuni kegelapan seperti ini. Namun, aturan alam mensyaratkan adanya aksi untuk memunculkan reaksi. Aku menutup pintu ini dengan tanganku.
Langkah sekecil apapun akan berubah menjadi energi bunyi, dan bunyi itu terwujud dengan pasti di kepalaku. Entah bagaimana, seolah kesunyian dapat meredam kecamuk di luar. Aku tak yakin bahwa kegelapan merupakan keberadaan. Nyatanya, foton yang merupakan perwujudan cahayalah keberadaan. Namun, kegelapan terasa bertumpuk di mataku. Apakah ini pendukung teori tentang materi gelap?
Tapi tunggu! Apa itu? Ada yang bergerak di sana. Dua titik cahaya merah, tapi aku tak yakin karena itu datang kemudian pergi seperti angin. Aku mulai teringat akan keberadaan senter di ranselku, meski tak yakin apakah masih menyala. Benar dugaanku. Memang wajar, mengingat aku tak mengisi baterainya sejak di desa itu. Namun, setelah beberapa pukulan, akhirnya cahaya remang menyorot. Tak ada apa-apa.
Sudahlah, orang selalu berlebihan, sesuai pandanganku. Jauh lebih baik duduk di atas kursi tua ini. Meski acak-acakan, tak teratur, beberapa bahkan tak berdiri, ini lebih baik daripada menentang sesuatu yang besar di luar sana atau mengukur sesuatu dalam kegelapan yang bahkan tak ada. Ah, enaknya.
Indra penglihatanku terpejam, tak jauh beda ketika terbuka. Sayangnya, hanya ini yang mampu kupejamkan. Gas memanglah wujud paling bandel. Tanpa permisi, beberapa molekul melewati lubang hidungku, menyentuh reseptor. Bau terasa, menyengat tapi samar-samar, entah apa namanya.
Jika diingat, ada mitos yang hidup di banyak masyarakat desa. Ketika bau-bauan tertentu tercium, sesuatu yang ghaib ada di sekitar sana. Setiap bau mengindikasikan hantu tertentu. Tapi itu hanyalah mitos, dalam pandanganku.
Jdarrr! Frekuensi sebesar itu tentu memaksa tanganku berefleks menutup lubang telingaku. Begitu juga bagaimana otot-otot dahi meremas mataku. Pengikut kilat itu datang lebih cepat dari biasanya. Ketika mataku terbuka, sisa cahayanya masih tertinggal di jendela besar penuh retakan di depan sana. Sesosok berpakaian putih berdiri di sana. Karena mataku baru saja terpejam, aku hanya mampu melihat setengahnya, kemudian lenyap bersama cahaya yang tersisa. Segera kuarahkan cahaya remangku ke sana, tapi tak ada apa-apa. Sudahlah, itu pasti hanya halusinasi. Orang-orang desa itu terlalu memengaruhi pikiranku. Aku tak boleh terganggu. Fokuslah, fokuslah, begitu gema di hatiku ketika mataku kembali terpejam. Padam.
Mataku terbuka, namun tak ada cahaya yang berebutan menyentuh saraf penglihatanku seolah fans yang meminta tanda tangan. Gelap masih pekat. Kepalaku terasa pusing, seolah ada yang berputar-putar di dalamnya. Kuperhatikan sekeliling.
Apa yang terjadi? Kenapa aku tak berada tepat dimana aku memejamkan mata? Ingatanku lewat begitu saja. Kalau kau berani memasukinya, kau akan tiba-tiba tertidur dan terbangun entah dimana. Apakah kata-kata itu benar? Aku harus mengeceknya lagi. Ketika aku berdiri, aku baru menyadari ranselku tak bersamaku.
Bulan purnama penuh malam ini. Menurut mitos, ada seorang manusia yang kemudian menjadi srigala ketika malam ini datang. Tapi seperti yang kukatakan, mitos. Kecuali kalau mungkin pria itu telah mengalami rekayasa genetika dimana genom tertentu srigala ditanamkan dalam kromosomnya. Hal semacam itu belum ada saat ini.
Aku berjalan tak kenal arah di bawah lingkaran emas. Terus berjalan, sampai akhirnya kusadari aku hanya berputar-putar. Kucoba jalan lain, tak ada ujungnya. Kucoba lagi, aku tersesat berkali-kali. Mungkin tak akan ada habisnya jika kegelapan masih menyelimuti. Apalagi posisiku berada dalam kepungan pepohonan, semak-semak, serta rerumputan. Menyebalkan.
Jdarrr! Lagi-lagi langit mengamuk. Cahayanya menerangi sekitarku meski sementara. Dia di sini! Aku terperanjat, hampir melihat wujudnya. Tampak dua lingkaran merah berpendar di atas pakaian putih itu, menyorot tajam ke arahku, kemudian memadam.
Kukuatkan hatiku, meredam gemetar yang hampir tercipta, kemudian berlari ke arahnya. Aku sudah muak dengan semua ini. Tapi tak ada apapun di sana, juga di sekitarnya. Tak terlihat juga ia terbang atau semacamnya. Namun bagaimanapun, teori relativitas menyatakan tak ada yang lebih cepat dari kecepatan cahaya. Itu adalah mutlak.
Aku berlari ke sana kemari di sekitar titik itu. Benar-benar tak ada apa-apa, sampai pendar merah itu kembali terlihat jauh di depan sana. Aku sempat kaget, tapi kembali kukuatkan diriku. Pendar merah itu telah menghilang sebelum aku sempat mencapainya. Dengan adrenalin mengalir deras bersama darahku, aku kembali berlari tak tentu arah.
Entah seberapa jauh posisiku dari titik asal, setidaknya perpindahanku memiliki nilai, bukannya berputar menghasilkan resultan nol. Di satu titik, tanah yang kupijak tak memberi gaya yang cukup untuk menopang beratku. ”Hua...!” teriakku kaget. Aku terperosok ke dalam sana. Butiran tanah menggesek kulitku, terbentuk energi panas. Beberapa memasuki mulut dan mataku, sampai akhirnya kaki dan pantatku mendarat bersamaan. Kubersihkan diriku terlebih dulu sebelum bangkit dan menatap permukaan. Enam meter, perkiraanku.
Aku tak mampu mencapainya, tapi ada jalan di belakangku. Sebuah gua. Gelap. Tak satu titik pun tampak di mataku. Aku sempat kaget sesuatu bergetar di pahaku. Oh, ya, tentu saja. Aku hampir lupa aku membawa handphone. Syukurlah baterainya masih tersisa setengah. Cukup untuk setidaknya membuat jalan tampak di mataku. Dengan cahaya yang tak seberapa itu, aku menyusuri gua.
Ternyata bukan jalan buntu. Gua ini menuntunku pada ruang lebar di ujungnya. Kususuri ruangan itu. Yang membuatku khawatir adalah tak adanya penopang di sana. Jika tanah di atasku runtuh, habislah aku. Hei, apa ini? Kuarahkan layar handphoneku ke sana. Merah, berkilau, indah. Batu safir. Runcing, menjulang dari dalam tanah. Wow, bagaimana batu mulia sebesar ini ada di sini?
Tanpa kusadari, sesuatu mendekat padaku dari belakang. Tangannya yang terasa dingin menggenggam erat leherku, mencegah aliran fluida dalam tenggorokanku. Ia menjepitku di antara dirinya dan tembok tanah. ”Arrrgh!” Aku hanya menggeram kesakitan, apalagi ketika kuku hitam tajamnya ditusukkan ke leherku. Aku memaksakan kepalaku berputar dan itu membuatku terkejut. Kulit putih pucat seolah kutukan es, mata yang berpendar semerah darah, taring tajam, semua itu ada dalam satu paket wujud itu. Namun mataku semakin terpejam. Semua itu hilang.
”Rumah itu telah ditinggalkan bertahun-tahun.” kata orang di desa yang terngiang dalam ingatanku.
”Memangnya, apa yang terjadi?”
Ia terdiam sejenak. ”Pria itu baru tinggal di sana tiga tahun. Ia bersama istrinya. Hal itu terjadi di malam hari. Orang-orang misterius tiba-tiba mendobrak rumah itu, menyeret pria itu dan membunuhnya. Mereka kemudian membakar rumah itu. Kebetulan setelahnya hujan deras mengguyur, jadi tak seluruh rumah terbakar. Tetap saja, beberapa bagian hangus. Istrinya meninggal dalam kebakaran itu.”
”Memangnya, apa yang membuat orang-orang itu membunuhnya?”
”Sudah kubilang, mereka orang misterius. Mereka menghilang tanpa jejak. Seseorang mengunjungi rumah itu dua tahun setelahnya dan ketika kembali, ia menjadi gila. Beberapa orang juga mengunjunginya. Awalnya tak ada apa-apa, tapi keanehan-keanehan kemudian terjadi.”
Lagi-lagi aku terbangun dan tak berada di tempat semula. Hei, bukannya ini tempat aku tertidur di kursi? Aku berada di sini lagi. Apakah yang terjadi barusan hanyalah mimpi? Tapi, untuk mimpi, itu semua terasa terlalu nyata. Tidak, itu bukan mimpi. Aku yakin itu. Kuangkat kembali handphoneku sebagai penerangan. Namun sebelum itu, kusadari sesuatu yang aneh. Aku mengutak-atik handphoneku beberapa saat, baru berjalan. Langit mulai tampak keunguan dari jendela besar penuh retak itu. Titik air yang terkondensasi di langit sepertinya telah habis diperas.
Aku harus menyelesaikan masalah ini. Kakiku menuntunku melalui beberapa pintu. Aku menoleh ke sana kemari sembari mengarahkan layar handphoneku, kemudian menempelkan punggungku di permukaan tembok. Kasar karena retak terasa bersama dingin.
Dengan asumsi setiap getar adalah langkah kaki, aku menyergapnya segera ketika ia melewati pintu yang kujaga. Kudorong dirinya hingga ia terjepit di antara diriku dan tembok.
”Obat tidur berbentuk aerosol, disemprotkan dengan Chloro Fluoro Carbon. Kau menambahkan bau-bauan pada campuran itu. Apa itu, hm? Alkanon? Apa mungkin dari golongan merkaptan? Tentu saja bukan satu zat seperti etil merkaptan. Bau itu terlalu mirip gas LPG. Sepertinya campuran beberapa. Itu agak kacau.”
”Le...lepaskan aku!” Ia merintih. Tentu saja karena aku memegang lehernya sebagaimana ia memegang leherku.
Kulepaskan dirinya. Aku juga memiliki perasaan, apapun yang telah ia lakukan padaku. Meski ia telah menusukkan jarum ketika aku tertidur, memasukkan cairan halusinogen yang mengacaukan sarafku, membuat semua ilusi yang bersarang dalam pikiranku tampak semakin nyata.
Matahari naik secara relatif, meski nyatanya bumilah yang berputar hingga cahaya bintang itu semakin terasa di belahan yang dikenainya. Rumah ini salah satu yang disiramnya. Beberapa berkas masuk melalui jendela.
Semua tampak lebih jelas, namun aku terkejut karenanya. Kulit sepucat kutukan es, mata yang berpendar semerah darah, taring setajam jarum, memang semua itu tak ada padanya seperti dugaanku. Yang ada adalah kulit jernih, mata coklat berbinar dengan keindahan melebihi pendar aurora.
”Kalau kamu berusaha mengusirku, kenapa kamu membawaku kembali ke sini?” tanyaku.
Ia telah selesai mengatur napasnya. ”Aku tak memiliki masalah denganmu. Aku belum pernah melihatmu. Sepertinya kamu bukan warga desa. Kamu cukup cerdik, juga berani.”
Aku tersipu dengan sanjungan itu, tapi tak kutampakkan ekspresi dari impresi itu. ”Bagaimana aku menangkapmu? Hanya kebetulan aku menyadari ada sambungan wifi yang aktif. Ada beberapa. Itu berasal dari kamera inframerah yang kamu pasang untuk mengawasi jika ada orang masuk. Aku meretasnya dengan handphoneku sehingga kamu tak bisa mengawasiku.”
”Aku belum pernah bertemu orang sepertimu.”
”Apa yang sebenarnya kamu lakukan?”
Ia tak langsung menjawab. ”Ayo, duduklah di ruang tamu. Kamu tamu pertamaku setelah beberapa tahun.” Ia berjalan dan aku mengikutinya. Begitu pula ketika ia duduk.
”Orang di desa tak mengatakan pemilik rumah ini memiliki anak perempuan.”
”Mereka berpikir aku juga mati dalam kebakaran itu, tapi tidak. Aku bersembunyi. Aku hanyalah anak yang tak tahu apa-apa ketika itu. Yang kutahu adalah bahwa dunia ini indah, tempat untuk main-main. Tapi mereka datang dan merenggut segalanya. Aku tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya bersembunyi dari orang-orang, berpura-pura menjadi orang lain ketika keluar. Semakin hari, semakin aku menyadarinya.”
”Menyadari apa?”
”Siapa orang-orang itu dan kenapa mereka membunuh orang tuaku.”
”Batu safir itu.”
”Ya. Ayahku membeli tanah dari seseorang di desa itu. Setelah tiga tahun, baru ia menyadari adanya batu berharga di sana. Ia menyewa beberapa orang untuk membunuh ayahku. Namun, mereka terlalu banyak meninggalkan bukti hingga harus menjauh ke kota. Setelah dua tahun, ia kembali lagi.”
”Dan kau membuatnya menjadi gila.”
”Nada tertentu berfrekuensi tinggi dan berkesinambungan memperkuat pengaruh halusinogen aerosol yang ia hirup. Ia menjadi gila, dan aku semakin takut karenanya.” Ia menunduk, kilau di matanya semakin nyata. ”Banyak orang datang setelah itu.”
”Bagaimanapun, kamu orang yang baik. Kamu tidak tega melakukan itu pada orang-orang desa yang tak bersalah. Kamu hanya melindungi dirimu di dalam sini.”
Semakin banyak kata keluar dari mulutnya, semakin banyak pula kata keluar dari mulutku. Kami hanyut dalam percakapan penuh perasaan di antara kami. Terlalu banyak kalimat berhias nada lembut darinya menyentuh hatiku. Apalagi tatapan sebening kacanya semakin memiliki rasa.  Aku tak begitu yakin bahwa ini rasa, yang dalam pembagiannya hanya ada empat: manis, asin, asam, pahit. Inikah cinta? Sebuah fenomena alam tanpa ukuran, sebuah gelombang yang entah transversal atau longitudinal.
Hanyut dalam romansa berlatar hitam antariksa, berhias titik-titik surya. Perasaan itu selembut makhluk lembut hingga aku tak mempu merasakannya. Apakah masih rasa namanya jika tak mampu kurasakan?
Dialog kami semakin berubah kecenderungan semakin tingginya posisi matahari, seperti perubahan gradien pada polinomial orde dua.
Wajahnya terasa semakin manis ketika ia memulai senyum pertamanya. Seperti penyusunan asam amino dari jajaran tiga kodon, otakku secara spontan merangkai kata yang merangsang senyumnya. Deg! Jantungku seolah berhenti ketika ia tertawa. Dia benar-benar memiliki taring!

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com