Minggu, 29 Mei 2016

Melodi yang Kunyanyikan


Matahari tenggelam di balik bukit, meninggalkan desa ini dengan kegelapannya. Dingin. Sealu seperti itu di sini. Mereka terbiasa. Mereka bukanlah masyarakat yang terlalu maju, namun juga tidak tertinggal. Mereka bisa memainkan musik, bekerja sebagai petani, terkadang juga berburu.

Seorang pria tua terduduk di rumahnya, melamunkan sesuatu sementara istrinya memasak untuk makan malam.

Ia menatap ke jendela. Petang yang disiram. Ia mengingat wanita itu. Ia pernah melihatnya, ia yakin. Apakah rumah itu masih berhantu ya?

***

Hari ini ia akan datang. Setahun lamanya sejak kunjungan terakhirnya. Sama seperti saat ini. Air menggelitik tanah. Ia terbahak-bahak karenanya. ”Ini disebut gaung.” begitulah katanya dulu. ”Gaung adalah suara yang tidak teratur, namun nyaman didengar.” Memang tidak hanya yang teratur yang memiliki keindahan. Aku bahkan lebih menyukai pola-pola abstrak. Namun bakat ibuku mengalir deras bersama darahku. Aku memainkan piano untuk menghibur diri atau mengisi waktu senggangku.

Terlalu banyak waktu senggang. Aku hanya mengingat melodi-melodi yang ibuku nyanyikan dulu. Begitu lembut. Tanpa kusadari jari-jemariku menekan nada-nada sesuai melodi itu. Syahdu, aku tenggelam di dalamnya. Jrenggg! Sebuah jeritan muncul lagi dalam pikiranku. Kesepuluh jariku membanting piano itu, hingga terdengar bunyi nyaring. Denyut di tanganku semakin kencang. Kau akan mendapatinya terlihat semakin putih pucat. Kurasakan taringku bergetar bersama gigi lain.

”Mereka hidup dari kesalahan. Begitu pula dengan kita.” kata ayahku bertahun-tahun yang lalu, yang kini mendengung lagi sebagai memori. Hanya dia teman curhatku, seseorang yang paling mengerti tentangku. Kami berdua sama. Setidaknya yang paling kuanggap mirip diriku. Kurasa ia lahir dari kegagalan dimensi menjalankan tugasnya. Begitu pula denganku.

Aku hanyalah seorang anak-anak. Segalanya adalah tentang bersenang-senang. Pagi hari ayah mengantarku ke sekolah, siangnya ia menjemputku. Tak pernah kupedulikan di mana dia bekerja, atau sebagai apa. Ia bahkan tak pernah menceritakannya. Yang kutahu hanyalah bahwa ia seseorang yang aneh, menyukai hal-hal abstrak. Ia memajang lukisan-lukisan aneh di rumah. Ada lukisan yang seperti tumpahan cat, ada lukisan yang seperti permukaan air, ada juga lukisan seperti gumpalan cahaya yang seolah membawamu ke dunia lain. Anehnya, aku juga menyukainya.

Ia berbeda. Aku tahu, aku menyadarinya, dan kuyakin ibuku pun tahu. Sayangnya, aku juga berbeda. Namun karena berbeda, itulah kesamaan kami. Ia mengatakan padaku untuk bertindak sebagaimana manusia umumnya, meski aku telah mengetahui aku tidaklah demikian.

Jari-jemariku kembali bergerak, menekan nada-nada tinggi dengan tempo cepat berbumbu hentakan-hentakan yang tanpa kusadari begitu nyaring. Seluruh ruangan terisi olehnya. Bahkan cahaya tak medapat ruang sedikit pun.

”Melodi kematian.” Begitu ia menyebutnya.

Seseorang pernah mendengar melodi ini. Dengan sedikit penekanan, ia menjadi gila. Orang yang sama dengan orang yang datang ke sini bertahun-tahun lalu, membunuh orang yang kusayangi. Orang yang sama dengan orang yang kubenci setelahnya. Orang yang sama dengan orang yang kukasihani beberapa tahun kemudian.

Kuperhatikan pria itu suatu ketika. Tua, tak berdaya, dan seolah buta, tuli, lumpuh. Ia tak lagi merasakan indahnya mentari pagi, sengatan hangatnya. Entah ke mana matanya membawanya. Mungkinkah ia melihat ke dalam dunia lain? Dunia lain yang lebih gelap? Ia tak mampu lagi bergerak kalau istrinya tak menuntunnya. Bahkan pembunuh pun memiliki cinta.

Air mataku sekuat tenaga kubendung. Seharusnya aku berpikir dua kali ketika melakukan itu padanya dulu.

Sebuah piano. Tua dan berdebu. Ke sanalah tempat yang kami tuju. Kugoreskan kemoceng di permukaannya, hingga detailnya. Titik-titik itu berhamburan. Melodi itu kembali lagi. Jari-jemariku lagi-lagi otomatis menekan nada-nadanya. Mataku terpejam menahan seluruh perasaanku.

Mungkin dia tuli, tapi tak setuli itu. Melodi ini bisa masuk ke dalam jiwa siapa pun. Bahkan secara teori, susunan suara yang harmonis akan mengaktifkan bagian tertentu otak.

”Suara akan menyusuri lorong telinga, menabrak gendang telinga, menyeberangi tulang-tulang lembut, hingga masuk ke dalam rumah siput, kemudian berubah menjadi sinyal yang merambat ke otak.” Begitulah ia mengajariku dulu, ketika pertemuan pertama kami. ”Bayangkan jika suara itu teratur. Bukankah pikiran kita akan dimasuki oleh sinyal-sinyal indah?”

Kutekan nada terakhir. Suara dengungnya paling panjang. ”Kami akan datang besok lagi, Bu. Terus, sampai Bapak sembuh.” Begitu melangkahi pintu, air mataku segera meledak. Keluar menjebol bendungan.

Perasaan seperti itu tak lagi kurasakan. Hari ini aku berpikir lagi. Apakah aku melakukan hal yang benar dengan menyembuhkannya? Kedua orang tuaku meninggal karenanya. Bukankah ia pantas mendapatkannya? Setiap tarikan serta hembusan napasku kurasakan. Perasaan yang begitu tak stabil. Setiap pilihan yang kuambil seolah salah. Aku beruaha menyembuhkannya dengan hatiku. Tapi kini pria itu akan datang lagi, kembali membuat rumah ini menjadi berhantu. Nada terakhir dari rentetan melodi kematian kutekan. Tak berbeda dengan melodi indah itu.

Kuraba perutku, kubelai lembut. Berbulan-bulan kau di sana. Dapatkah aku menyelamatkanmu? Mataku terpejam. Tolong, cepat, datanglah.

Angin membanting jendela. Mereka menyerbuku, tapi aku tak merasakan dinginnya. Seekor makhluk kecil bersayap turut memasukinya. Kepakan sayap legamnya hanya membawanya terbang mengitari ruangan. Aku tersenyum. Makhluk yang lucu. Kuangkat tanganku, memanggilnya. Ia paham, kemudian mendatangiku. Apakah kau sendirian? Aku juga begitu. Mungkin kita akan sama-sama...

Aku tersentak. Darahnya menciprat tiba-tiba, sedikit mengenai wajahku. Ia jatuh tanpa nyawa. Lubang tercipta di tubuhnya. Dia di sini. Apa yang harus kulakukan?

Kutuju kamar orang tuaku dulu. Lumayan rapi. Padahal sebelum menikah aku tak pernah membersihkannya. Sengaja kubuat agar efek menyeramkannya lebih tajam. Tak ada pengunjung, tentu saja. Itu lah yang kuinginkan. Aku benci pengunjung.

Oh, satu hal yang belum kami bersihkan. Lemari ini. Masih berlapis debu. Ayahku menggantung jas-jas mahalnya di sana. Jariku bergerak di antaranya. Kulihat satu per satu, kubayangkan ketika ia memakainya. Kubayangkan rupanya. Seandainya dia di sini saat ini. Aku membayangkan bagaimana ramainya rumah ini. Aku bahkan tak didampingi siapa pun dalam pernikahanku. Bahkan tak ada hukum yang mengatur pernikahan dengan makhluk dari dimensi lain. Selalu berpura-pura menjadi orang lain.

”Ini jubah yang keren.” kataku sambil mengambilnya dari gantungan. Luarnya segelap malam, dalamnya semerah mawar juga sewarna dengan kuku-kukuku. Jubah itu menjuntai hingga lantai. Tak kusangka ayahku setinggi itu. Bagaimanapun, ini indah.

Kuturuni tangga melengkung. Tak ada anak tangga yang tak retak. Tiada cahaya. Tapi seperti yang kubilang, aku berbeda. Aku bisa melihat tanpa cahaya.

Pintu terbuka. Aku mendengar decitannya dengan jelas. Ia melangkah ke ruangan ini. Mataku yang merah bercahaya segera menarik perhatiannya, meski wajahku masih bersembunyi di balik bayangan.

”Jadi kau benar-benar ada?” kata pria tua itu.

Kuperhatikan ia dengan mataku yang berpendar. Kuperhatikan mata ketiganya. Aku tak melanjutkan langkahku menuruni anak tangga. Aku berbalik, naik. Dor! Dor! Peluru diluncurkan, tapi tak satu pun mengenaiku.

Kutuju ruang pianoku. Melodi-melodi itu kembali kunyanyikan dalam hatiku. Jari-jemariku menekan mengikuti nada-nada yang kulantunkan. Ia mengisi seluruh ruangan, melenturkan setiap sudut. Hari sudah mau berganti. Kenapa ia tak kunjung datang? Apakah ia telah melupakanku? Juga anaknya?

Tiba-tiba sesuatu terbang tepat di depan mataku. Kelelawar. Mataku mengikutinya, kemudian tersentak mendapati kelelawar mati yang kutinggalkan tadi sudah tak ada, meski cipratan darahnya masih membekas.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Pendar di mataku menajam, kulitku memucat, dingin. Aku berputar, membanting tanganku padanya sekuat tenaga. Tapi ia menangkapnya, menggenggam erat tanganku. Tangannya lebih hangat dari para pembunuh. Tidak, dia bukan pembunuh.

”Kamu terlihat seperti ketika kita bertemu pertama kali.”

Kulitku kembali normal, cahaya di mataku padam. Segalanya kembali terasa hangat. Aku memeluknya erat. ”Dasar. Kau terlambat. Haruskah selalu seperti ini ketika kita bertemu? Hari sudah berganti.”

”Ini baru jam dua belas. Kurang empat puluh detik.”

Ruangan tiba-tiba terang benderang. Cahaya memantul-mantul di dinding, lantai, atap. Ia membanjiri seluruh ruangan. Seluruh rumah kurasa. Kulihat cahaya juga datang dari luar. Tak pernah seperti ini sebelumnya. Kenapa begitu berbeda? Kilauan itu bercerita, seperti inilah lantai, seperti inilah dinding. Ya, aku mendengar cerita mereka. Tentang bagaimana keramik memantulkan cahaya, juga tekstur kayu yang tak berpola, juga benda-benda yang tertutup kain putih. Mereka melambai padaku karena dinginnya. Maka kututup jendela, kemudian mendapati si kelelawar terbang melewatiku, sebelum jendela tertutup rapat.

”Aku sudah memasang semua lampu. Apa kau keberatan?”

”Aku bisa mematikannya kalau dibutuhkan.”

”Ayo kita temui dia sekarang.” Ia kemudian berjalan menuju pintu. Kurasa ia sudah tahu. Aku penasaran bagaimana reaksinya, menjawab tantangan dari seseorang yang dulu dikasihaninya. Tapi ia tak membawa senjata.

”Fin!” seruku. Ia menoleh, tapi aku tak jadi mengatakannya. Kuikuti dia tepat di belakangnya, masih dengan pertanyaan yang tak kusuarakan. Tapi aku ragu dia tahu lebih dalam. Tentang apa yang kulihat. Alam semesta yang berada di mata ketiganya. Hitam, tapi merah. Merah, tapi hitam. Paradoks, dalam dunia yang seperti ini. Tapi itu adalah kenyataan, dalam dunia penuh paradoks.

”Aku melihat sesuatu darinya. Sesuatu yang sepertinya kau tak menyadarinya. Atau bahkan kau tak melihat hal itu darinya?” tanyaku.

Ia tak sempat menjawab. Ia bahkan mungkin segera melupakan apa yang baru saja kukatakan. Kami berhadapan dengannya begitu melangkahi pintu, menatap matanya yang tak lagi seperti mata pembunuh. Ia mengangkat pistolnya. Ini tak lagi gelap. Siapa pun dapat melihat siapa pun dengan jelas. Pria tua itu tak mendapati sesuatu yang ia pikirkan. Aku. Ia tak melihatku sebagai sesosok yang menyeramkan.

”Apa yang Anda lakukan di rumah kami, Pak?” tanyanya bernada normal.

”Ini rumahmu?” Pria itu bingung, tapi ada ketidakyakinan.”Ya, tentu saja. Tolong jangan datang di malam hari tanpa mengetuk pintu. Apalagi dengan pistol seperti itu. Kami bisa mengira kalau Anda perampok.”

Mata pria itu beralih. Kini menatapku. Aku tak mengerti tatapan macam apa itu, tapi setidaknya tatapan ini adalah tatapan yang nyata. Tatapan yang semua orang dapat melihatnya. Namun itu membuatku bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya kulihat? Aku seperti melihat sebuah kebohongan. Kurasa ini seperti ilusi yang kutunjukkan padanya bertahun-tahun lalu. Kemudian ia mengangkat tangannya, menodongkan jari telunjuknya. Aku tersentak.

”Aku pernah melihatmu. Ini bukan lagi ilusi, aku tahu. Ingatan dari masa lalu perlahan mendatangiku. Ini karena bantuanmu juga.”

”Kurasa Anda belum sembuh total, Pak.”

”Aku tidak berbicara denganmu, tapi wanita itu. Aku yakin, aku pernah melihatmu. Malam yang sama. Gelap. Aku melihat api. Api yang sangat besar. Apakah itu sebuah kebakaran? Aku juga melihat sesuatu yang lain. Seorang pria. Tapi bukan kau. Aku dapat membedakannya dengan jelas. Tidak, mereka sudah mati, aku yakin. Kau bukanlah pemilik rumah ini. Tapi, ada sesuatu tentangmu, Nona Shafir.”

Setiap katanya menciptakan gambaran-gambaran. Aku melihat potongan-potongan itu, kilasan masa lalu. Semakin ia mengatakannya, semakin aku mengingatnya, semakin cepat pula jantungku berdetak. Fin hanya menatapku, tapi aku tak begitu mempedulikannya. Hanya kegelapan. Itu yang mengisi mataku saat ini. Aku seharusnya bisa melihat bahkan tanpa cahaya. Kegelapan ini terasa lain. Semakin banyak potongan-potongan kisah darinya, aku menyusun puzzle itu. Itu tak membuat hatiku semakin tertata. Itu justru membuatnya semakin berhamburan. Hingga akhirnya tak ada lagi yang kulihat

Aku berjalan cepat ke arahnya. Aku tak merasakan perubahan, tapi aku tahu ia mendapati mataku semakin merah. Cahayanya memantul melalui matanya. Kemudian aku menggenggam erat lehernya. Elang telah mencengkeram mangsanya. Kudorong ia ke tembok, semakin erat tekananku. Kulihat tanganku. Semakin putih pucat. Seolah aku tak memiliki darah lagi. Dingin, seperti es.

Ia berusaha menyingkirkan tanganku, tapi cengkeramanku terlalu erat. Napasnya tak lagi mengalir dengan mudah. Tiba-tiba dahinya berdenyut. Tercipta celah di sana, semakin melebar. Sebuah mata. Ternyata benar apa yang selama ini kulihat. Kemudian darinya, muncul cahaya merah. Seperti ledakan. Begitu menyilaukan, hingga aku harus menutup mataku.

”Argh!” Perutku bergetar, menyakitkan. Seketika aku kembali normal. Fin menangkapku, kemudian membantuku duduk di lantai.

Pria itu terbatuk-batuk. ”Aku...” Ia mencoba berbicara. Nadanya serak. Tak jauh berbeda dengan suara orang-orang tua lainnya. “Kau... uhuk!” Ia mengetes suaranya lagi, masih terbatuk. “Kau lebih muda darinya. Tidak, kau bukan dia. Dia sudah mati. Tapi kau sangat mirip dengannya.” Suaranya masih serak.

”Dia adalah ibuku.” kataku, masih menahan sakit dan rasa benciku. ”Ya, dia telah meninggal. Bersama dengan ayahku. Anda yang membunuh mereka.” Kutatap ia dengan tatapan sengit, namun tak merah.

Dengan sergap ia menarik pistolnya dan mengarahkan sebutir peluru padaku. Dor! Aku dan Fin hanya terkejut dan tak bisa bertindak. Kupikir rasanya akan menyakitkan. Tapi tidak. Peluru itu menancap di dinding, di sampingku. Padahal pistol itu hanya satu meter di depanku dan tepat mengarah ke dahiku.

”Bahkan peluru menolak untuk menyentuh kulitmu. Sama halnya dengan ayahmu. Aku mengenal mereka berdua. Entah kenapa kupikir aku tak pernah melihatmu. Kupikir mereka tidak memiliki anak. Tapi aku pernah mendengar, ibumu mengandung selama 18 bulan. Dan melodi itu, kau mempelajarinya dengan cepat. Aku pernah mempelajarinya, tapi aku tak mampu. Aku mengenal melodi-melodi itu sebelum kau.” Ia kemudian menyimpan pistolnya. ”Aku turut berduka tentang ibumu.” Ia kemudian melangkah, meninggalkan kami.

Aku hanya memandang kepergiannya. Begitu pula dengan Fin, sebelum akhirnya ia membantuku berdiri, kemudian menuntunku ke kamarku. Sementara itu aku terus berpikir. Kulihat puzzle yang telah tersusun dalam pikiranku. Sepertinya susunannya salah. Maka itu kembali berserakan, tak teratur. Kucoba untuk menyusunnya satu demi satu. Begitu sulit.

”Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya begitu aku duduk di ranjangku.

Aku tak menjawab. Ia terus menatapku, sampai aku berkata, ”Apa kau benar-benar tak melihat mata ketiganya?”

”Mata ketiga?”

”Sepertinya lelaki tua itu sama sepertiku. Juga ayahku. Aku salah menafsirkan memoriku. Aku salah memahami apa yang terjadi.”

”Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?”

”Entahlah. Kupikir dunia ini normal. Tapi ternyata begitu banyak paradoks yang terbawa ke sini. Seperti kelahiranku. Begitu juga apa yang kulihat tapi tidak kau lihat. Merah tapi hitam, hitam tapi merah. Mati, tapi tak mati. Aku tidak bisa membedakan ilusi dan kenyataan. Ada dunia lain yang lebih gelap, yang berisi paradoks dari dunia ini. Sepertinya pria itu pernah ke sana.”

Lagi-lagi, seekor kelelawar masuk. Mataku berputar mengikutinya. ”Ayahku belum meninggal.”


Sumber gambar: Pixabay, pexels.com

2 komentar:

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com