Sabtu, 15 Oktober 2016

Di Persimpangan


Mereka memang ahli mencurigai, tapi mereka takkan mencurigai diri mereka sendiri.

Teman, ingatkah kau bagaimana dulu kehidupan kita? Sebelum rasa pahit udara membasuh kulit kita. Sebelum bayang-bayang persegi panjang menumpuk di pandangan. Sebelum helai demi helai daun berubah menjadi kertas, berguguran bahkan tanpa musim gugur, hingga mengubur. Kita dulu adalah petualang. Pergi menjelajah rimba hutan hanya dengan kaki dan tangan. Kurasa itu jauh lebih seru daripada sekarang, saat kau sering meloncat ke negara orang dengan pesawat terbang. Aku ingat dulu kau benci mendekam di rumahmu seharian. Tapi, kenapa kini kau hanya diam?
***
Pria ini mengibaskan tangan di depan hidungnya. Ia melakukannya selama dua jam ini. Sesekali ia melirik ke kanan dengan tatapan sengit.
Pria di meja sebelah masih menikmati rokoknya sambil sibuk dengan handphone dalam genggaman tangan kanannya. Kemudian ia menyadari sesekali sepasang bola mata menyorot tepat ke matanya. Ia hanya melirik sejenak, kemudian kembali tak peduli.
Seandainya ada kursi lain yang kososng. Ia bingung, bagaimana tempat seperti ini bisa ramai pengunjung. Kenapa ada orang yang mau datang ke tempat terpencil seperti ini? Mungkin masing-masing orang di sana menanyakan hal yang sama. Harga, tidak murah juga. Tempat, tidak strategis. Tapi mereka tidak mengumbar pertanyaan itu. Mereka justru berbicara dengan bisikan pada lawan bicara mereka, seolah ini sebuah perpustakaan dengan penjaga perpustakaan yang akan membunuhmu jika mendengar suara.
Kemudian seseorang masuk. Entah bagaimana kedatangannya bisa menjernihkan kembali kedua mata pria yang sedari tadi duduk di kursi paling pojok. Ia menutup payungnya yang basah sebelum melangkah lebih dalam, lalu duduk di depan pria itu.
”Sore, Tuan Lubis. Kupikir kita akan bertemu jam 2.” kata pria itu.
”Aku ada urusan.” Ia meletakkan payungnya di lantai. ”Kau seharusnya tahu itu”
Pria itu kemudian menuangkan minuman dari botol ke dua gelas berbentuk corong. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk Lubis, pria di hadapannya.
”Sebenarnya aku lebih suka kopi.” kata Lubis.
”Kau harus mencobanya. Ini anggur lokal. Selalu ada hal yang dilakukan untuk pertama kalinya, bukan?”
”Bukan begitu. Hanya saja, aku memang lebih suka kopi.”
Pria itu menarik kembali gelasnya. Kedua gelas kini di hadapannya, hanya untuknya. Ia mengangkat satu gelas, meneguknya sendiri. Cairan itu mengalir melalui celah di antara kedua bibirnya, hingga habis. Pikirannya lagi-lagi berbicara, kenapa mereka harus bertemu di tempat seperti ini, padahal mereka bisa bertemu di kafe elit yang jauh lebih rapi dan suasana yang lebih pantas untuk dibayar.
Lubis yakin pria itu mengira mereka hanya pernah bertemu sekali sebelum ini. Padahal, Lubis ingat betul ia pernah melihat secara langsung wajah itu dua kali. Namun hal itu bisa dimaklumi, mengingat Lubis dulu bergerombol bersama orang lain ketika bertemu dengan pria itu pertama kalinya.
Gerombolan itu menciptakan suasana yang ramai, gaduh. Mereka setujuan, sebenarnya. Mereka berpakaian rapi, ada yang membawa kamera, alat perekam suara, serta catatan kecil. Para pembawa alat perekam berdesakan, berusaha mendapatkan posisi strategis di mana suaranya dapat terdengar dengan jelas. Para pembawa kamera berusaha mendapatkan sudut yang cocok untuk gambar mereka. Jepretan-jepretan lampu kilat turut melengkapi suasana. Masing-masing mereka melempar tanya, hingga pria itu bingung pertanyaan mana yang harus ia jawab. Akhirnya ia terpaksa menghentikan pertanyaan mereka.
Ia menyukai pekerjaan ini dan terus menekuninya. Soal bayaran tidak perlu diragukan lagi. Jalas ia mampu bertahan hidup dengan bayaran itu. Prestasinya dalam profesi itu begitu gemilang. Dengan kecerdasan serta keberaniannya, ia mendapat banyak pujian dari mana-mana. Berbagai kasus dapat ia selidiki secara mendalam, kemudian memaparkannya di media.
Pria itu masih menatap Lubis. Kedua tangannya saling genggam, berdiri di atas meja layaknya menara. Ia menunggu pria di hadapannya itu selesai dengan urusannya mengetuk-ngetuk layar dengan ibu jarinya.
Di kota gelap seperti ini, semua orang memiliki urusan. Beberapa untuk diri mereka sendiri, beberapa untuk golongan mereka. Beberapa cukup terang-terangan, beberapa yang lain harus dirahasiakan. Orang-orang selalu ingin memiliki dunia untuk mereka sendiri. Tentu saja. Mana ada orang yang ingin hidup susah?
Itulah kenapa ada tempat seperti ini. Tempat yang memang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki urusan serius. Tempat yang tak perlu memperhatikan harga dagangan, suasana tempat, maupun posisi strategis. Cukup bermodalkan tanah dan bangunan serta minuman seadanya. Seperti warung-warung biasa di pinggir jalan. Hanya saja, si penjaga kedai harus bersiap menghadapi bermacam-macam hal: pemerasan, penarikan hutang yang tak kunjung dibayar, serta hal lain yang berbau uang. Itu semua dapat memicu perkelahian.
Sebagai seseorang yang memulai karirnya benar-benar dari bawah, Lubis pasti sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. Suasana warung sederhana maksudnya, bukan perkelahian-perkelahian dalam kegelapan seperti itu. Warung-warung sederhana menjadi langganannya setiap hari. Apalagi ketika ia masih kuliah dulu.
Cita-citanya masuk akal untuk seorang mahasiswa jurusan manajemen: menjadi seorang pengusaha. Namun, keahliannya lebih dari itu. Ia memiliki otak pebisnis sekaligus matematikawan atau saintis. Analisanya luar biasa. Bukan hanya analisa pasar untuk menentukan harga, namun analisa strategis yang memerlukan keahlian bermain catur. Ia juga akan cocok untuk menjadi detektif. Sebenarnya, itu memang cita-citanya ketika kecil.
Ketertarikannya dalam bisnis justru baru tampak setelah ia masuk ke jurusannya. Uang memang memiliki daya tarik tersendiri. Nilainya, iya. Tapi bukan hanya karena itu. Itu lebih kepada strategi tentang bagaimana untuk mendapatkannya. Ia mulai bermain-main dengan itu ketika kuliah. Berjualan makanan, distributor kaos, dan sebagainya. Ia menyukainya. Kemampuannya dalam marketing memang luar biasa. Tentu saja itu berhubungan dengan kemampuan komunikasinya.
Kuliahnya selesai dan ia melamar sebuah pekerjaan di perusahaan media atau pers. Mulai saat itulah, kehidupannya berada di level yang lebih tinggi. Urusannya dengan orang-orang aneh pun dimulai hingga sedikit demi sedikit itu merasuk ke dalam dirinya. Beriringan dengan itu, sedikit demi sedikit ia mendaki menuju puncak. Strategi-strateginya seolah berhenti. Uang mengalir begitu saja kepadanya ketika ia berada di puncak. Inilah zona bahaya dirinya.
Berbeda dengan pria di seberangnya. Ayahnya adalah seorang pebisnis. Sejak kecil ia sudah berurusan dengan hal semacam itu. Ketika SMA, ia telah memegang lembaran-lembaran saham. Uang mengalir melaluinya. Hal yang mengasyikkan adalah menjaga bagaimana agar uang itu tetap mengalir. Kesehariannya adalah untuk mengamati dan menganalisa naik turunnya grafik. Ketika uangnya tiba-tiba merosot, itulah zona bahaya baginya.
”Perusahaan itu tiba-tiba mengalami lonjakan yang pesat. Aku tidak tahu apa yang membuat mereka bisa seperti itu. Tapi itu patut untuk dicurigai.” kata pria itu sambil terus memegangi batang kecil gelas itu. Ia mengetuk-ngetukkannya dengan meja, seolah itu hal yang sangat mengasyikkan.
”Setiap hal mencurigakan patut untuk dicurigai. Aku ahli dalam hal itu. Sebenarnya, kau tahu? Akulah raja sesungguhnya di negeri ini. Aku bisa mengendalikan pikiran orang-orang hanya dengan jariku. Aku juga mengendalikan negara ini. Segalanya bisa diatur.” kata Lubis.
Pria itu tersenyum masam. ”Jangan sombong.” Ia kemudian mengulurkan lengannya ke bawah, kemudian mengangkat koper logam. Ia membaringkannya di atas meja, kemudian membukanya. ”Jatuhkan perusahaan itu.”
”Sebenarnya aku benci korupsi. Atau apapun bentuknya. Juga para pejabat yang selalu berpikir merekalah pemilik segalanya.” kata Lubis. Akhir-akhir ini ia memiliki sengketa dengan seorang dalam pemerintahan. Hanya saja mereka tak saling menanggapi secara frontal. Ini adalah perang dingin.
”Kau masih perlu belajar untuk menyingkirkan pikiran seperti itu. Ini dunia nyata. Cobalah untuk memandangnya sebagai wujud aslinya, sebagai realita.”
”Yah, itu benar juga. Segalanya hanya tentang permainan. Dunia ini memang tempat bermain yang asyik.” Ia menyeret koper itu, lalu menutupnya kembali. Kini itu resmi menjadi miliknya.
Kilat beserta petir masih sesekali muncul. Cahayanya masuk melalui pintu, juga jendela-jendela. Orang-orang di dalam sana jangankan memperhatikannya, di antara mereka bahkan ada yang seolah tak mendengarnya karena fokus pada bisikan-bisikan dengan lawan bicaranya. Hanya kegelapan dan kerahasiaan yang mereka rasakan. Masing-masing takkan memedulikan bisikan pada percakapan orang lain. Tapi, seseorang yang baru pertama kali masuk ke sini pasti akan merasa tempat ini seperti pasar.
Seseorang masuk, hanya berdiri di pintu. Benar ia merasakannya. Dengan badan besar tegap, pakaian serta kacamata serba hitam, ia tampak menakutkan. Namun memang ekspresi seperti itu yang cocok untuk berpasangan dengan wajahnya. Jika kau melihatnya, kemudian membayangkannya tersenyum manis, kau pasti akan mendapati ada hal yang janggal. Mata berlapis kaca hitam itu menyorot ke sudut ruangan.
Pria di sudut ruangan melihat ke jam tangannya. Percakapan itu hanya beberapa menit, tapi itu sudah cukup baginya. Ia memiliki kesibukan lain di luar sana. Kesibukan dengan pekerjaan sebenarnya tentunya. ”Senang berbisnis denganmu.” Setelah berjabat tangan, ia segera menuju ke pintu, berjalan melewati pria berwajah menakutkan itu. Kemudian pria berwajah menakutkan itu berjalan mengikutinya seperti anak ayam mengikuti induknya.
”Sampai jumpa, Tuan Ran.” Kata Lubis. Giliran Lubis yang sendiri. Bedanya, perokok di meja sebelah sudah tak di sana. Ia tak perlu saling lirik tajam dengan si perokok itu, seperti yang dilakukan Ran. Ia selalu membenci asap rokok yang menghalangi konsentrasinya.
Ia merogoh sesuatu dari balik jasnya, kemudian memakai sarung tangan karet itu. Sangat tipis. Ia memegang salah satu dari dua gelas corong di depannya, mengangkatnya hingga tepat di depan kedua matanya. Ia memutar-mutarnya dan memperhatikannya saksama. Kemudian ia mengambil solasi, menempelkannya ke gelas itu, kemudian melepaskannya kembali. Sembarangan meninggalkan sidik jari, pikirnya. Baru setelah itu ia melangkah pergi.
Ia masih memikirkan konfliknya dengan Ridwan, si pejabat pemerintah itu; seorang ketua PanasDingin (Partai Nasional untuk Demokrasi Negara Indonesia) yang menempati salah satu kursi di DPR. Ia juga bertugas mengawasi kegiatan ekspor-impor di negeri ini; melakukan pendataan barang, kuota impor, pajak, dan lain-lain. Perangai baik, sabar, dermawan, bijaksana, serta taat beragama, itulah yang membuatnya disukai anggota partainya, bahkan juga masyarakat umum. Faktor lain adalah karena masa lalunya sebagai seorang anak desa biasa. Ia bahkan seorang yatim piatu. Ia kemudian menaiki tangga sedikit demi sedikit dengan usahanya hingga berada di puncak negeri. Kisah hebatnya itu sering dimuat di berbagai buku dan media.
Mereka cukup dekat sejak kuliah, yaitu Ridwan si pejabat dengan Lubis, sang penguasa pers. Namun akhir-akhir ini ia mendapati Lubis senang main api. Ia tahu itu pertanda apa. Ia tahu orang seperti apa Lubis itu. Kegemaran Lubis dalam memainkan strategi kian lama kian tak terasa. Lubis merasa tak ada lagi yang perlu diurus. Uang sudah mengalir dengan sendirinya. Begitu dan terus begitu, hingga akhirnya ia berada di titik bosan, sebuah titik bahaya Lubis, yang juga titik percikan api.
Beberapa hari yang lalu ia mendapati Lubis bermain catur. Bukan di atas papan, tapi di atas tanah negeri. Anehnya, ia bermain seorang diri. Ia menciptakan musuh-musuhnya sendiri, kemudian menggerakkan bidak-bidaknya untuk membasmi musuh-musuh ciptaannya itu. Beberapa orang harus mendekam di penjara karenanya.
Ia mencoba mengajaknya berbicara di sebuah pertemuan, tapi itu tak berjalan dengan mulus. Lubis justru mengatakan dengan pasti bahwa ia mampu melakukan apapun di negeri ini, karena ia telah memiliki negeri ini.
***
Matahari sudah sedikit di atas tanah. Tak tampak begitu jelas karena ada bukit di timur sana. Dinginnya udara masih terasa lebih dominan.
Pagi ini seorang pria paruh baya telah menerima tumpukan koran dari atasannya untuk diedarkan. Sudah sejak ayam berkokok ia mengucapkan ”sampai jumpa lagi” pada istrinya. Kini ia masih ingin menghangatkan tubuhnya. Secangkir teh akan sangat membantu. Tak perlu di kafe elit tempat nongkrong anak-anak muda. Sebuah warung kecil di pinggir jalan jauh lebih menghangatkan. Sambil begitu, ia mengamati satu demi satu korannya korannya. Kemudian ia berhenti di sebuah koran. Halaman pertamanya begitu menarik perhatian.
Pyar! Cangkir yang ia pegang jatuh, namun ia tak menyadarinya. Ia tak peduli jika harus menggantinya. ‘Ketua PanasDingin, Ridwan Ansori ditahan karena melakukan kontrak kerja sama terkait pengimporan gandum dengan direktur PT Merviand di luar peraturan pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan persetujuan sidik jari Ran Saliva, direktur PT Merviand.’ Itulah yang tertulis di halaman koran itu.
Teman, apa yang mengubahmu menjadi seperti ini? Apa kau tak ingat kehidupan kita dulu? Dua anak yatim piatu, sang petualang. Kita teman para binatang. Kau benci duduk seharian di rumah. Kau selalu menyumbangkan ide-ide brilianmu untuk petualangan kita. Kau adalah seseorang yang paling cerdas dan baik yang pernah kukenal. Aku selalu percaya dan penuh harapan padamu bahwa suatu saat kau akan menjadi seseorang yang berguna dengan kecerdasanmu. Tidak sepertiku yang hanya memiliki kecerdasan terbatas. Kenapa setelah kau mendapatkannya, kau justru membuat posisi itu berada di atas hatimu dan lembar-lembar itu menguburmu?
Ah, maaf kawan, aku mengucapkannya terlalu cepat. Apakah semua ini benar? Tolong, ceritakanlah.

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com