Rabu, 11 November 2015

Mekar dalam Kembang



Tak ada yang mampu menandingi keindahan ciptaan-Nya. Tuhan sedang menyirami Kembang yang beberapa hari ini mengering. Selalu ada kebahagiaan di sini. Meski dalam dinginnya belaian udara yang arah geraknya berubah-ubah, meski bukan di dalam rumah. Gubuk ini salah satunya–susunan kayu yang terkikis waktu dan rajutan bambu yang tak lagi hijau atau kuning. Kebersamaan selalu dapat menjadi selimut dalam kondisi seperti ini. Kehangatan tak perlu lagi dicari, namun didapatkan–di desa ini, Desa Kembang.

Beberapa orang duduk di sana. Pakaian mereka sama-sama lusuh, kecuali salah seorang di antara mereka, yang paling belakang dalam usia. Ia menuangkan teh ke semua gelas yang tersedia untuk dinikmati masing-masing mereka. Kepulan uap teh dari teko keramik klasik itu tiada tara dalam memperhalus suasana.

Pak Kades, pria yang cukup berusia, menarik asbak di ujung gubuk. Bara rokoknya ia gesekkan ke asbak hingga berguguran, menghitam. ”Suasana seperti ini jadi teringat sama masa lalu.” kata Pak Kades.

Pemuda meletakkan gelasnya yang masih setengah penuh seraya berkata, ”Katanya, Bapak dulu pernah menjadi arsitek, ya?”

”Pernah, tapi nggak lama. Bapak teringat pada masa kecil Bapak dulu. Ketika pembangunan belum seperti sekarang ini.” Dengan gaya khasnya, Pak Kades menceritakan bagaimana keadaan desanya dulu.

***

Desa Kembang, desa yang tak seindah dan seharum namanya, kecuali mungkin jika yang diaksud Rafflesia arnoldi. Rajutan-rajutan bambu tua bertebaran di mana-mana. Tak satu pun rumah yang sudah menggunakan batu bata. Kandang-kandang kerbau kotor di samping atau belakang rumah membuat keadaan semakin buruk. Tak satu pun jalan yang dilapisi aspal. Yang ada hanyalah jalan yang akan mengotori kaki jika hujan baru tiba. Morfologinya bisa menjebak siapa pun yang menapakkan kakinya di sana.

Anak-anak di sini jangankan pandai. Beberapa masih buta huruf. Namun, tetap saja satu di antara mereka yang memiliki semangat tinggi.

Dialah Sekarmadji, seseorang yang suatu saat nanti akan menjadi kades. Satu hal yang membuat semangatnya tetap bertahan hingga saat ini adalah dukungan bapaknya yang tiada henti. Bapaknya adalah bapak paling semangat di antara semua bapak di desa itu, yang kebanyakan justru meninggalkan desa pergi merantau kemudian lenyap tanpa kabar. Hal itu membuahkan cita-cita dalam diri Sekarmadji, yaitu menaikhajikan kedua orang tuanya. Namun, semua berubah ketika sebuah cobaan menyerang.

”Sekarmadji.” Itulah yang ia katakan kali pertamanya berkenalan dengan Andre, siswa baru di kelasnya, pindahan dari kota.

”Terlalu panjang. Bagaimana kalau Madji?” kata Andre.

”Ya, terserah mau gimana manggilnya.”

Kedatangan Andre ke kelasnya mengganjal hati Madji. Setiap pertemuan mereka selalu diiringi pertanyaan dari Madji. Kepandaiannya merangkai kata membuahkan pertanyaan yang tak berujung. Ia selalu ingin tahu bagaimana kehidupan di luar sana.

Mungkin ia telah menemukan teman yang tepat untuk menumpahkan semua kata yang tertampung pikirannya. Sering ia berkunjung ke Pringsewu, desa tempat Andre tinggal di sini.

Hampir setiap hari bersama bapaknya Madji luangkan waktu bersama, nongkrong di gubuk sampai sore mengawasi sawah dari serangan burung-burung. Bersama-sama pula mereka menyingkirkan keong-keong yang menempel di tanaman-tanaman padi mereka di malam hari. Ketika menanam kacang, sekeluarga menanamnya bersama-sama dan ketika panen, mereka pun memetiknya bersama. Bahkan adik kecilnya ikut, meski hanya berlarian ke sana kemari dengan senyum lucunya. Akhir-akhir ini, Madji sering absen untuk beberapa hari. Ia memiliki ketertarikan untuk mengunjungi teman barunya.

Namun, itu semua tak mengusik kedua orang tuanya. Apa yang ayah Madji harapkan adalah agar Madji dapat menjadi seorang sarjana suatu saat nanti; sarjana pertama di desa itu. Ia tak terlalu berharap agar Madji selalu dapat membantunya menyelesaikan setiap pekerjaan, meski jika tanpanya terasa lebih melelahkan.

”Kok bisa lebih terang to?” Kenorakan Madji timbul ketika lampu ruang tengah rumah Andre diganti.

”Lampu yang kemarin sudah rusak. Memangnya di desamu benar-benar nggak ada listrik?”

”Mana ada di sana. Letaknya aja terpencil. Di kaki gunung, seperti mau diinjak sama gunungnya.”

”Ha...ha...ha... Kamu lah nanti yang harus kasih listrik ke desamu.”

”Ya, semoga bisa. Kalau di kota katanya sudah pakai listrik semua ya?”

”Enggak juga. Di kota sama saja, ada tempat yang terpencil, kumuh, nggak enak. Orang yang nggak punya rumah juga banyak. Di mana-mana masalahnya sama. Malah lebih enak di sini. Meski desamu belum ada listrik, kan, suasananya lebih nyaman, sejuk. Di kota selalu sesak.”

Madji mangut-mangut. Semua persepsinya mengenai kota selama ini terbantahkan. Bahkan orang yang dari kota mengatakan tempat ini lebih enak.

”Katamu di desamu cuma kamu ya, yang melanjutkan SMA? Terus yang lain ngapain?”

”Yah, kebanyakan udah pada malas mikir. Lebih memilih jualan di pasar, tani, gitu lah, yang bisa langsung dapat uang. Tapi bapakku ingin aku lanjut sampai sarjana, jadi sarjana pertama di desaku. Aku juga punya cita-cita buat keliling-keliling Indonesia. Alhamdulillah Bapak selalu mendukungku.”

”Syukur ya, punya orang tua yang baik.”

”Iya, alhamdulillah. Makanya aku sering bantu mereka biar bisa lebih mudah cari uang dan menabung buat kuliah nanti.”

Percakapan mereka sepanjang jalan kenangan, tanpa sadar apa yang terjadi di luar – kucing kejar-kejaran, para petani pulang, gerimis yang turun bersama malaikat pembawa dan pencabut kenangan.

Sekitar pukul lima sore. Dengan usaha yang jauh lebih berat dari kepergiannya, Madji mengayuh sepeda. Sepanjang jalan ia merasa di sapa –lambaian bayangan tangan-tangan kelapa yang pada sudut tertentu menyembunyikan surya.

Tak seperti biasanya, sawahnya yang tenang kini dipenuhi orang. Padahal sawah-sawah tetangga sama sekali tak berpenghuni. Entah hal apa yang tiba-tiba menjadi magnet yang begitu kuat sampai-sampai sawah tomat yang seharusnya telah dipanen, setengahnya masih asyik bergantungan. Ia menghentikan sepedanya tepat di samping parit, meninggalkannya tanpa takut terjadi apa-apa.

Kedatangannya seolah menjadi magnet tandingan. Setiap pasang mata kini tertuju ke arahnya. Ia menjadi salah tingkah, wajahnya diselimuti kebingungannya. Ditembusnya kerumunan itu seraya terus bertanya, ”Ada apa ya Pak? Ada apa ya Bu?”

Tak ada yang menjawab. Tak ada respon pasti yang mereka berikan, seolah mereka hanyalah patung.

Setelah menembus kerumunan, yang ia dapati di sana adalah sosok ibunya. Dengan kedua telapak tangan menutupi mukanya, masih tampak bagaimana emosinya. Isak tangisnya dapat Madji dengar dengan jelas. Rasa khawatirnya memukul-mukul jantung hingga terasa di luar. ”Ibu, ada apa?” Suaranya diperhalus di antara perasaan yang tak menentu ini.

Sekelompok orang naik dengan susah payah dari parit lebar di sana. Tangan mereka ada yang berlumur darah. Setelah sepenuhnya naik, nampak bahwa mereka mengangkat seseorang. Dari atas telinganya, darah memancar tak terbendung. Goresan luka lainnya tampak di sekujur tubuh. Pakaiannya telah basah kuyup dan sobek-sobek. Orang itu tak lain adalah bapak Madji.

Air mata tak dapat ia bendung lagi. Bukan hanya mengalir, melainkan meledak. Bagaimanapun ia berusaha membendungnya, perasaannya tetap mendorongnya keluar. Isak tangis ibu Madji kini ada yang mengiringi. Kehilangan orang yang dicintai diikuti perasaan kehilangan harapan. Ia hanya dapat menyalahkan dunia.

Saat-saat setelah penguburan ayahnya, ia selalu menyendiri di kamar. Tak ada penghibur baginya. Orang yang terdekat dengannya juga mengalami hal yang sama. Yang dapat ia bayangkan hanya kehancuran masa depannya, bukan lagi keinginan untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Seseorang yang menjadi pemicu dan penanam impian telah hilang, sehingga impian itu pun ikut hilang. Di tengah semua itu, ia mendapat sebuah kesimpulan.

Andre merasa kesepian seharian ini di sekolah. Teman yang selalu bersamanya tengah hanyut dalam kesedihan. Ia telah berusaha menjenguknya, tapi tak ada sambutan selamat datang sama sekali. Saat penguburan ayah Madji kemarinlah satu-satunya waktu ia dapat menyalurkan empatinya, meski ia tak mendapat respon yang spesifik dari Madji. Sekarang ia sama sekali tak tahu posisi temannya itu.

”Ini upahnya Dik.” kata seorang pria berwajah ramah.

”Terimakasih Pak.” Pemuda itu meraih uang yang disodorkan, dengan memaksakan lukisan senyum di wajahnya.

Sepeda berlapis karat itu ia kayuh di bawah langit berwajah pucat. Langit sepertinya memiliki perasaan yang sama dengan Madji. Di tengah perjalanannya, Madji menerima air mata pertama empati langit. Semakin lama semakin deras, hingga tak dapat dibedakan lagi mana air mata langit yang membasuh muka Madji dan mana air matanya sendiri. Kesedihan langit telah memicu kesedihannya kembali.

Di depan sebuah rumah makan, ia menghentikan sepedanya. Ia mengucek matanya yang sedikit memerah dan ia basuh langsung dengan air yang telah menempel di mukanya. Ia menarik napas sekuatnya, kemudian ia buang. Paru-parunya kembali teratur.

Rumah makan itu menampakkan aura kehangatan yang menarik Madji untuk memasukinya. Teh hangat akan sangat membantu dalam suasana seperti ini. Setelah memesannya, ia mencari kursi terbaik sembari menahan emosinya agar tak meledak di sini.

Ternyata ia tak sendiri. Seorang pria berjaket kulit duduk di sebuah kursi. Meski mukanya belum tampak, ia seperti mengenalnya. Postur tubuh itu, apalagi kepala botak itu, seseorang yang telah membekas dalam ingatan Madji. Ia duduk di sampingnya, memastikan apa dugaannya benar.

”Oh, Madji. Kok di sini?” Pria itu segera menyadari kehadiran Madji. Dia adalah ayah Andre –selalu tampak ketika ia berkunjung ke rumahnya.

”Oh, iya Pak.”

”Saya turut berduka ya, apa yang terjadi sama bapak kamu.” Air muka empati menghias wajah yang biasanya tampak konyol itu.

Mendengar ucapan itu membuat Madji kembali teringat akan bapaknya dan semua kenangan yang telah mereka lalui. Air mata kembali mendesak keluar sehingga ia harus bersusah payah membendungnya. ”I... iya Pak. Tidak apa-apa.” Suaranya hampir dinadai isakan.

”Kalau kamu memang sedih, keluarkan saja tidak apa-apa. Andre juga begitu ketika bertemu pertama kali.”

Kata-kata itu segera menarik perhatian Madji. Ia seolah bertanya, apa maksudnya?

”Oh, iya. Saya belum pernah cerita, ya. Andre itu bukan anak kandung saya. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan dulu. Ia dititipkan di panti asuhan, kemudian saya mengadopsinya. Saya selalu kasihan sama dia. Di awal-awal dulu, dia selalu menangis. Tapi tidak apa-apa, kalau itu memang mengeluarkan apa yang dipendam. Dia malah kehilangan orang tuanya sewaktu masih SD. Kasihan sekali, kan?”

Ternyata begitu. Ia baru tahu sekarang. Pertanyaan tak penting yang ada di hatinya kini terjawab. Mereka berdua sama sekali tidak mirip, ternyata karena itu. Di samping itu, ia kini menyadari bahwa ia tak sendiri. Dunia juga telah merenggut kehidupan Andre. Tapi, Andre terlihat baik-baik saja saat ini.

”Kalau kamu butuh apa-apa, hubungi saja saya, atau hubungi lewat Andre. Insyaallah, saya akan membantu. Saya juga dengar dari Andre, kamu bolos sekolah?”

Tak ada jawaban. Ia seperti mengheningkan cipta.

”Kalau saran saya sih, jangan kamu buat jadi semakin berat. Kamu kan pernah bercerita sama Andre kalau kamu punya cita-cita. Kamu harus meraihnya. Jangan stres berlebihan sehingga pikiran menjadi kacau.”

Madji masih tak memberi jawaban.

”Saya tahu, kamu mau bilang nggak ada uang buat sekolah, kan? Jangan khawatirkan soal itu. Ini, coba lihat.” Ayah Andre menyodorkan salah satu halaman koran.

Entah bagaimana, Madji kembali teringat akan cita-citanya. Ia teringat dengan harapan-harapan yang dicurahkan bapaknya. Terpampang di sana pengumuman beasiswa penuh untuk kuliah.

”Sekarang beasiswa sudah banyak. Saya akan coba bantu kamu untuk mendapatkannya. Gimana? Kamu lanjut aja, ya.”

Mengalir setetes air mata dari mata Madji. Yang ini bukan karena kesedihan. Semangat-semangat dari bapaknya kembali menggema di telinga, membuatnya terharu. Sejak saat itu, ia berjanji ia tidak akan mengecewakan bapaknya.

***

Langit telah mereda, diikuti akhir cerita dari Kades. Pemuda itu tampak terpana dengan cerita yang dibawakan lelaki itu. Beberapa pria yang lain pun tampaknya mendengar dengan baik.

”Jadi, Bapak kemudian kuliah dengan beasiswa itu?” tanya si pemuda.

”Iya. Alhamdulillah, setelah tes yang sangat sulit, Bapak mendapatkannya. Saya sangat berterima kasih kepada Andre dan ayahnya.”

”Kenapa Bapak kembali ke desa? Bukannya Bapak ingin keliling Indonesia?”

”Iya, saya sempat pergi menyeberang laut. Ke Sumatra lah, Kalimantan lah. Di mana-mana masih banyak masalah. Bapak ingin memperbaiki desa Bapak dulu. Lagipula, pesan bapak saya adalah untuk jadi sarjana pertama di desa.”

Pemuda itu mangut-mangut, begitu terpesona, kagum dengan sosok yang ada di depannya. Ia adalah pahlawan bagi desa.

Sumber gambar: Dienis Dzakaria/pinterest.com

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com